5 hari.
sudah 5 hari terlewat dari waktu itu dan seorang perawat menghela napas menatap kalender dengan gusar.
"Sinta."
Perawat itu menoleh. Seorang perawat lainnya berdiri di hadapannya. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
"Aku hanya gusar," jawab perawat tadi yang menatap kalender itu. "Sudah 5 hari pasien itu tidak mau makan apa-apa. Aku tidak tahu harus berbuat apa," lanjutnya.
Perawat di hadapannya menghela napas pendek. "Ini gawat juga. Katanya dia harus diberi pelayanan yang istimewa seperti seorang ratu, atau layaknya seorang VVIP begitu. Kalau pasien lain kita bisa tidak menghiraukannya, tapi kalau yang satu ini aku ragu kalau terjadi sesuatu padanya. Lantas apa yang akan terjadi pada kita?"
"Itulah yang aku takutkan. Aku tidak berani membayangkannya."
Perawat tadi kembali menghela napas. Ia mengamati sekilas jadwal yang tertempel di samping kalender. "Sudah saatnya aku mengecek keadaan pasien di ruang C," ucapnya sembari mengambil beberapa peralatan medis di bawah rak. Ia menoleh setelah itu. "Dan ini sudah waktunya makan siang pasien itu."
"Aku tahu."
Perawat itu menepuk pundak temannya sekali. "Berjuanglah, Sinta," ucapnya lalu ia pun berjalan pergi.
Sinta menghela napas. Dengan setengah hati ia pun menuju ke dapur, mengambil menu spesial untuk pasien itu, Elizia.
Sudah hampir 10 tahun Sinta bekerja di Rumah Sakit Jiwa ini dan ini pertama kalinya ia merasa risau seperti ini. Tidak seperti pasien gila lainnya yang sesusah apapun dapat ia tangani, tapi pasien yang bernama Elizia ini ternyata di luar kesanggupannya. Pihak rumah sakit diminta untuk memberinya pelayanan khusus karena diminta secara khusus juga oleh pejabat hebat, namun bagaimana bisa sedangkan makanan saja tidak pernah ia sentuh?
Sejak pertama kali ia dimasukkan ke sini hingga saat ini, pasien tersebut tidak makan, tidak minum, tidak pula tidur. Kerjaannya setiap hari hanya duduk, menunduk, dan tidak ada apa-apa lagi kecuali bernapas. Ia benar-benar seperti patung. Ia diganggu seperti apapun tidak akan ada respon. Sinta, salah satu perawat yang bertanggung jawab melayaninya benar-benar bete dibuatnya. Ia sudah kehabisan cara untuk membujuknya.
Letak ruang VIP Elizia berada di lantai 3, pintu lift pun terbuka tepat di lantai 3. Sinta berjalan dengan pelan sembari melirik menu makanan yang dibawahnya. Salad, sup asparagus dan steak sapi. Sinta menghela napas lagi. Kenapa pasien itu bisa begini bodohnya tidak ingin menyentuh makanan lezat seperti ini? Ingin rasanya Sinta melahapnya detik itu juga.
Tok tok. Sinta mengetuk pintu dengan pelan. "Permisi, sudah saatnya makan siang," ucapnya pelan lalu membuka pintu dengan sopan. Benar-benar seperti sedang menghadapi seorang ratu besar.
Sinta melangkah mendekati Elizia yang sedang duduk itu. Seperti biasa, ia duduk sambil menunduk. Makanan tadi pagi berupa susu dan roti-roti khas prancis tidak tersentuhnya. Sinta hanya bisa menggeleng lalu menyingkirkan makanan tersebut kemudian meletakkan menu makan siang di hadapannya. Ia menarik salah satu kursi, duduk persis di sebelahnya, menyendok sesendok sup dan mengarahkan kepada Elizia. "Makanlah," sahutnya dengan setengah hati seraya menyuapinya.
Elizia diam, dan Sinta lumayan kaget. Catat, 4 hari sebelumnya Elizia terus mengulang kata "tidak" dan anehnya hari ini ia diam. Sinta merasa takjub sekaligus heran.
"Aku ingin makan sendiri."
Kali ini Sinta beneran terkejut hingga kedua matanya membelalak. Apa katanya tadi? Sinta tidak salah mendengar, bukan? Atau jangan-jangan hanya perasaannya saja? Harus dipastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Mister / Thriller(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...