Chapter 1 Part 3

8.8K 474 7
                                    

"Keluarkan aku!" Raven terus berteriak dan mengedor pintu bertubi-tubi. Inginnya ia terus lanjut mengedor sampai kedua tangannya berdarah. Tapi begitu tahu tidak ada gunanya meneruskan tindakannya, Raven hanya bisa menggerutu lalu asal menendang benda-benda yang tersimpan di dalam gudang itu, melampiaskan kekesalannya.

"Padahal aku tidak melakukan apa-apa, tapi kenapa dihukum? Sial!" Raven terus menendang dan memukul dengan membabi buta, menggantikan targetnya dari pintu ke barang-barang bekas itu. Tapi tahu semua ini juga tidak berguna dan hanya menguras tenaga, dengan kesal ia hanya bisa jatuh terduduk dan merengkuh pada dirinya sendiri.

Lapar.

Terakhir kali Raven melihat jam, waktu menunjukkan pukul 7 malam, dan itu adalah waktunya dia makan malam. Namun baru saja ia bergegas pulang ke rumah, kakeknya itu sudah menerornya dengan alasan dialah yang memecahkan pot keramiknya. Tolong deh, lihat pun tidak pernah, bagaimana bisa ia memecahkannya? Ini terlalu tidak masuk akal!

Bosan.

Entah sudah berapa lama Raven terkurung di dalam sini, dan ia bosan. Ia tidak melakukan apapun karena memang tidak ada yang bisa dilakukan. Tak tahan dengan kebosanan yang tinggi ini, ia pun memutuskan untuk membongkar kardus-kardus yang ia sandarkan itu, berharap-harap ia menemukan komik, ataupun setidaknya koran bekas deh. Asalkan sesuatu yang bisa ia nikmati untuk melewati waktu.

Kardus yang ada di hadapannya ukurannya lumayan besar dan dilem kuat dengan lakbam, sangat menentang untuk dibuka. Banyak kardus lainnya dalam keadaan terbuka dan lebih mudah untuk dibuka, lantas Raven sangat tertarik pada kardus satu ini. Maka, tanpa pikir panjang ia pun mencoba membuka kardus ini dengan kukunya yang pendek. Alhasil, setelah berusaha sejenak, kardus tersebut terbuka juga.

Raven membukanya dan rautnya pun langsung berubah. Ia melihat ke dalamnya, gaun-gaun anak perempuan, boneka-boneka dan perhiasan. Semuanya benda berbau perempuan dan sangat bocah. Alis Raven semakin terlipat.

"Ini ... milik Mama dulu?"

Dengan penuh penasaran dan kebingungan, Raven mencoba mengambil salah satu gaun yang mekar dan kembang itu –berwarna merah- lalu mencocokkannya ke badannya. Ukurannya kecil. Ia bisa memperkirakan ukuran gaun ini untuk bocah berusia sekitar 8 sampai 10 tahun.

Bosan dengan gaun, Raven mulai mengaduk-aduk isi kardus ini, tidak ada barang yang menarik. Rata-rata yang bisa ia dapatkan hanyalah boneka dan perhiasan, tidak ada lagi yang lain. Hampir saja ia berniat untuk berhenti saja dan mengganti kardus yang lain tapi langsung terhenti begitu melihat tumpukan buku di bagian yang paling bawah. Buku-buku itu terlihat tua dan menarik perhatiannya. Meninggalkan barang-barang yang lainnya dalam keadaan berantakan, Raven pun memutuskan untuk fokus meneliti buku-buku itu.

Baru saja ia membuka salah satu dari buku itu, matanya langsung terbelalak lebar. Banyak coretan! Tulisan-tulisan terlihat sangat berantakan dengan ukuran yang berbeda. Ingin sekali ia membacanya, tapi sangat disayangkan karena kedua matanya tiba-tiba kabur tinggal bayang-bayang. Raven hanya bisa menggerutu pada penyakitnya yang timbul lagi sekarang, pada waktu yang sangat tidak tepat. Karena tidak bisa apa-apa lagi dengan mata yang seperti itu, ia hanya bisa membolak-balikkan kertas-kertas itu dengan setengah hati sampai ia tiba di pertengahan halaman.

Raven yakin pandangannya masih belum membaik, tapi sebuah kata yang ada di halaman tersebut bisa ia lihat dengan sangat jelas. Tulisan berukuran besar, kapital dan berwarna merah.

VENGEANCE.

Setelah melihat tulisan tersebut, Raven langsung membeku. Kedua matanya masih terbelalak lebar dan tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Pikirannya penuh, tidak dengan pikiran-pikiran, hanya namanya.

Raven Geonce.

Vengeonce.

Vengeance.

***

"Raven!"

Seiringan dengan suara yang keras itu, terdengar suara pintu yang terbuka dengan keras juga. "Kamu sudah boleh keluar, Mama sudah cari bukti kalau kamu tidak bersalah," ucap Elizia sambil tersenyum lebar. Ia sudah berhasil menangkap pelaku yang asli, yaitu kucing tetangga. Kucing tersebut sempat datang ketika pintu terbuka. Elizia mengetahuinya karena ada bekas cakaran kucing di keramik dan jejak kakinya di halaman sana.

Raven tidak tersenyum, tidak pula segera bangkit dan keluar karena ia sudah bebas dan dinyatakan tidak bersalah. Ia hanya duduk diam, dengan kedua mata yang tertuju total ke Elizia, membingungkannya yang sudah mengulurkan tangan itu.

"Kenapa?" tanyanya kemudian.

"... Tidak apa-apa." Raven berdiri sendiri tanpa ingin menerima uluran tangan ibunya. Ia yang hendak melangkah keluar dengan mendadaknya ditarik oleh Elizia.

Elizia tersenyum padanya. "Kamu pasti lapar, kan? Mama sudah pana—"

"Aku tidak lapar." Tanpa meliriknya sama sekali, Raven berkata dengan sangat dingin dan dengan kuat dan cepat pula ia menepis tangan Elizia. Ia tidak berhenti berjalan lagi meski Elizia memanggilnya. Ia terus berjalan sampai dengan tanpa sadarnya Raven berpapasan dengan Erdi dan menabraknya.

"Hati-hati dong!" seru Erdi kesal. "Bukan berarti kamu tidak bersalah kamu boleh bertingkah seenaknya, ya!"

Tanpa mendongakkan kepalanya, Raven melirikkan matanya ke atas menatap Erdi dengan sangat tajam.

"Diam."

Hanya itu yang keluar dari mulut Raven, sebuah kata yang sangat dingin dan ia pun melangkah ke dalam kamarnya. Elizia dan Erdi bersama-sama mengamatinya dengan raut kebingungan.

"Dia kenapa?" tanya Erdi, dan Elizia hanya mengangkat kedua bahunya.

"Aku tidak tahu," jawab Elizia.

Erdi mengerutkan keningnya. "Apa ... dia marah padaku?"

Elizia kembali mengangkat kedua bahunya. "Aku juga tidak tahu."

Sempat bingung sesaat dan Erdi pun mengibaskan tangannya, cuek. "Biarlah, anak kecil selalu begitu. Besok-besoknya ia pasti akan kembali seperti biasa lagi."

Setelah selesai berkata, ia pun melangkah menuju sofa dan mendudukinya kemudian membuka tv. Sudah waktunya ia nonton acara kesukaannya.

Elizia masih berdiri diam. Ia terlihat murung, merasa sangat khawatir. "Semoga saja," gumamnya meragukan ucapan Ayahnya. Tak ingin memusingkannya lagi, ia pun memutuskan untuk masuk juga ke dalam kamarnya sendiri.

Keraguannya sangat tepat. Raven tidak lagi bertingkah seperti biasanya. Sejak hari itu ia lebih banyak diam dan enggan disentuh, terutama oleh Erdi. Ia tidak pernah lagi tersenyum bebas seperti biasanya, hanya mengerutkan kedua alisnya sangat dalam. Dingin.

Raven berubah sejak hari itu.

*******************************************************************************************



Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang