IL-4-Beruang [Alden]

54.8K 3.9K 81
                                    

"Mungkin tunggu ada cowok yang kelilipan rudal di matanya, sampai ada yang suka sama kembaran gue." ~Alden Pradipta

IL-4-Beruang [Alden]

Dari kejauhan aku melihat Abby sedang menunjuk-nunjuk tiang listrik; meracau dan sesekali menjambak rambutnya. Hal berlebihan lainnya adalah dia membenturkan keningnya ke tiang listrik.

Ck, kasihan tiang listriknya.

Sebenarnya aku potong rambut tak jauh dari sekolah jadi cuma butuh waktu sekitar tujuh menit. Abby pasti tidak sabar menungguku, buktinya ponselku terus bergetar dan Abby sedang menempelkan ponselnya ke telinga.

Kubunyikan klakson sebagai tanda kedatanganku.

Abby menoleh dengan wajah seperti tanpa harapan; dia beringsut memegangi lenganku.
"Alden! Help me! Gue ngelakuin Beruang itu sesuatu yang tolol! Mu ... mulut gue kebablasan!" Di akhir kalimatnya dia menabok bibirnya yang manyun tidak cute itu.

"Cerita ke gue, palingan juga gue ogah bantu," ucapku datar sambil mencopot helm.

Kami mengobrol di depan kedai es krim yang berada tak jauh dari sekolah.

Ya kan mana mungkin kita mengobrol di depan gerbang, masa jemput orang buat bolos sekolah di depan sekolah? Yang ada kita berdua diseret ke ruang BK.

Mata Abby yang bulat kian membulat, dia berjongkok.

"Gue ... gue ketemu cowok ganteng yang gantengnya bikin dag-dig-dug-jeger," katanya setelah puas berteriak norak.

"Apa sekarang udah masuk musim kawin para beruang ya?" Aku sengaja meledek Abby, hasilnya dia langsung berdiri dan menjambak rambutku.

Memang sakit tapi malah hanya tawa yang keluar dari mulutku.

"Alden monyet! Kalo gue lagi pegang gunting, gue bikin lo gak punya bibir biar gak bisa nyium cewek!" Ancaman Abby kutanggapi dengan tampang pura-pura takut lalu berakhir tawa lagi.

Abby menghentakkan kakinya kesal. "Gue serius Alden! Ta ... tapi...."

Dia menjeda ucapannya sambil memasang wajah lesu. "Pertemuan pertama kita jadi ancur-ancur ngeres gitu."

Sekarang bibir Abby melengkung ke bawah, dia menatapku lurus.
"Kapan gue bisa ngerasain pacaran kayak tokoh utama di novelnya Mamah?"

Aku menggaruk daguku, pura-pura berpikir.
"Mungkin tunggu ada cowok yang kelilipan rudal di matanya?"

Abby menjitak kepalaku. "Gue doain lo duduk di pelaminan sama Atha, mau lo?"

Sembari menggaruk area kepalaku yang terkena jitakan pedas Abby, aku menggeleng.
"Doa lo horor banget, By."

Abby tak berkata apa-apa lagi, dia lalu naik ke motor setelah mengambil helm cadangan yang selalu tercantol di jok motor.
"Anterin gue ke apartemen Papah, nyet."

Alden ganteng hanya bisa menurut karena aku banyak hutang sama Abby si Beruang. Dia sering menutup-nutupi tingkah nakalku, contohnya membukakan pintu di tengah malam untukku jika aku pulang kemalaman atau yang terburuk pulang dalam keadaan mabuk.

Sebelum menyalakan mesin motor aku menengok.

"Eh, gue di apartemen sebentar ya? Sampe jam sepuluh, abis gue bingung mau ke mana," kataku.

"Loh elo gak sama playboy itu?"

"Hapenya Rio bunyi gini pas gue nelpon buat nanya dia ada di mana: Maaf orang yang Anda hubungi sedang sibuk grepe-grepe cewek, mohon hubungi lagi setelah yang punya nomor ini digampar. Begitu, By," ucapku yang kalimatnya sengaja dimodifikasi.

Begitulah makhluk buatan Tuhan yang satu itu. Paling kerjaan Rio selain belajar dan nongkrong ya memainkan hati para cewek yang polos maupun sudah tidak polos.

Rio ranking kedua, kita berdua adalah dua siswa yang sering diberi decak sinis oleh para guru.

Aku mendengar Abby tergelak, dia menabok punggungku.
"Kita harus jagain masa depannya Lita, Al."

Aku mengangguk setuju, parahnya Lita mengagumi wajah baby face Rio.

~°°~

Kami sampai di apartemen Papah yang diberikan kepadaku karena aku memintanya sebagai hadiah. Hadiahku yang bisa menjadi peringkat satu UN di SMP. Tapi sekarang apartemen ini menjadi hak Abby, aku berhutang padanya. Dia memang menang banyak.

Tapi, aku agak ragu berjalan mengikuti Abby menuju apartemen Papah yang terletak di lantai enam belas. Abby bersikap tenang-tenang saja sambil bersenandung.

"Abby, kode apartemennya gak lo rubah?" tanyaku.

"Gue rubahlah, kodenya gampang, cuma angka nol delapan kali kok."

Tidak ada kode yang lebih rumit apa?

"By, lo udah beneran bego ya? Kodenya gak logis banget."

Abby menengok dengan tatapan sewot. "Heh, makanya itu! Gue pilih kode nol doang. Kan gak bakal ada yang kepikiran kalo kodenya cuma angka nol sebanyak delapan kali. Anti mainstream."

Aku tidak bicara lagi, terserah dialah. Papah bilang dia tidak tega menjual apartemen ini karena banyak kenangannya ketika masa pendekatan dengan mamah.

Hm, bukan pendekatan. Lebih tepatnya perbudakan, kalau aku bisa simpulkan dari sudut pandang mamah.

"Tunggu." Aku tahan tangan Abby yang akan memutar kenop pintu.

Dalam benakku, aku membayangkan isi apartemen papah sekarang pasti tak jauh beda saat di mana mamah pertama kalinya menginjakkan kaki di dalam sana.

"Kenapa? Lo kira gue bakal ngerusak apartemen yang isinya kenangan manis antara Papah sama Mamah kita?" Abby ternyata bisa menebak dengan benar isi pikiranku.

"Ya siapa tau, lo kan nurunin sifat malesnya Papah."

Abby berdecak sambil membuka pintu, aku mengangga dibuatnya. Ternyata bersih dan rapi saudara-saudara, aku jadi berdecak kagum melihat seisi ruangan.

"Semua ruangan bersih dan rapi, Al. Kecuali kamar utama, lo taulah. Messed up!" ucap Abby seraya tertawa kecil.

"Gue tarik kekaguman gue buat lo barusan," ujarku bersedekap dada.

Apartemen papah mempunyai dua kamar, tapi hanya satu yang memiliki ranjang. Satu kamar lagi disulap menjadi perpustakaan dadakan. Apartemen ini memang tidak terlalu besar, apartemen yang papah beli saat masih SMP.

Aku berjalan menuju kamar utama untuk melihat seberapa berantakannya kamar itu, tapi langkahku terhenti karena Abby menarik kerahku.

"Forbidden area," katanya dengan mata yang menyipit, "mine, only." Duh, aura beruangnya keluar.

~•••~

Tbc!

Vomment!

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang