IL-46-Trust

23.6K 1.6K 73
                                    

IL-46-Trust

"Cinta tanpa kepercayaan, itu enggak enak. Kayak lo tidur tanpa berdoa dulu, pasti ujungnya jadi mimpi buruk," kata Sam, yang sedang memainkan bola basket. Lagaknya bak pemain NBA, loncat sana dan sini, lalu menembak dari tengah lapangan.

Tembakannya masuk, tepat saat Alden bertanya, "Emang lo pernah berdoa?"

Biarpun Sam ada di ujung dunia, ia pasti akan segera mendatangi Alden jika cowok itu membutuhkan bantuan. Seperti beberapa menit lalu, saat ia hendak mengisi perutnya ke kantin, ada panggilan dari Alden. Well, Sam juga bingung, entah kenapa ia dijadikan tempat konsultasi oleh Rio ataupun Alden. Mana konsultasinya gratis! Kan mereka rese.

Sam mendesis.

"Eh, mana mungkin setan kayak elo rajin doa," timpal Alden yang sedang malas bermain basket, ia memilih duduk saja, sambil sesekali meneguk minuman dinginnya.

Sam melempar bola basketnya asal. "Woy! Jangan salah! Gue sering doa tau! Doa minta cewek bohay buat diajak jalan tiap malam minggu!"

Cowok itu menyengir kuda, berbanding terbalik dengan Alden yang memandangnya jijik. "Gue tau tipe bohay macam apa yang lo maksud."

Sam menggerakkan dahinya naik-turun. "Syukurlah, gue jadi enggak perlu buang tenaga buat nyuruh lo berimajinasi...."

"Najis," sambut Alden cepat.

Bukannya marah karena diumpat seperti itu, Sam tertawa. "Tapi seriusan, masalah elo sama Rio beda tipis loh."

Alden terlihat tertarik dengan topik ini, ia sampai tidak jadi minum lagi. "Bukannya Rio sama Abby baik-baik aja ya?"

"Enggak tau gue, cuma gue berharap sih enggak ada masalah, dari ... Juleha," jawab Sam, yang berujung memasang mimik serius.

~°°~

Abby perlu mengitari sekolah, hanya demi mencari Rio yang berada di gedung lain. Pesan singkat darinya, yang berbau kecurigaan, membuat Abby waswas. Ia tentu takut jika Rio marah, apalagi amit-amitnya mereka berujung bertengkar. Tidak ada satu pasang kekasih pun yang ingin berselisih paham hanya karena hal kecil. Demi apa pun, Abby tidak pernah menganggap Jullian lebih dari kawan dan tetangga. Hanya itu, hanya itu!

"Ih! Aku tuh enggak ada apa-apa sama Juleha!" tutur Abby, saat ia sudah berada di dekat Rio yang berdiri membelakanginya.

Mereka janjian di bawah tangga, yang menuju perpustakaan. Tempat yang aman dan damai jika keduanya sampai harus menggunakan nada tinggi untuk menjelaskan segalanya.

"Yang nuduh kamu ada apa-apa sama Juleha juga siapa?" Rio berbalik badan, tapi ekspresi wajah dan perkataannya bertolak belakang.

Abby gemas. Ia menunjukkan chat yang Rio kirimkan, pesan yang membuatnya harus berlarian sepanjang koridor, dengan gebuan ketakutan kalau Rio akan mendiamkannya untuk jangka waktu yang lama. Mereka memang suka saling ejek, tapi tidak pernah bertengkar secara serius.

"Ini kayak nuduh!"

Rio membaca ulang pesannya sendiri, dan ia berkilah, "Itu bukan nuduh, itu cuma tanya!"

"Ini nuduh!"

"Enggak!"

"Nuduh!"

Tanda seru di mana-mana, nyaring juga nada suara mereka berdua.

"Enggak!

"Nuduh!"

"Enggak!"

"Nuduh dan gitu aja terus sampe tempe jadi tahu masalah kita berdua!" Abby menarik ponselnya kembali, "Ini masalah kecil Rio!"

"Tau," Rio bersedekap dada, "Yang bilang masalah gede juga siapa?"

"Eng...," Abby bingung, "Enggak ada sih, tapi ... tapi kalo enggak diselesein ya jadinya gede!"

"Makanya ayo kita selesein," timpal Rio, "Ada apa kamu sama Juleha?!"

Rio memberikan tatapan selidik, dan Abby menggenggam erat ponselnya, seakan menyalurkan seluruh emosinya ke sana. "Enggak ada apa-apa! Kita cuma temen!"

"Ya dulu kita juga dari temen! Yang berujung jadi demen...." Perkataan Rio jadi lirih pada ujungnya.

Abby mendelikkan kedua matanya, ia membeku untuk beberapa detik. "Jadi, kamu tetep enggak percaya kalo Juleha itu cuma partner OSIS, dan enggak lebih dari itu?"

Rio terdiam, dan kini Abby tersenyum kecut, karena ia tak mendapati kepercayaan dari kekasihnya.

"Kamu nyamain aku sama Juleha kayak kita dulu? Sampe segitunya?"

Rio berlaku sama, ia malah menunduk.

"Aku juga enggak tau, seberapa banyak temen kamu yang berubah jadi demen kamu," kata Abby lagi, yang dengan sengaja menekankan dua kata penting itu.

"Dan satu hal lagi, nama dia itu Jullian, bukan Juleha. Permisi!" Abby memilih pergi, daripada ia berakhir menjambaki Rio, agar cowok itu mau mendongakkan wajahnya. Tapi yang namanya cewek, itu harus kalem, kayak putri-putri di negeri dongeng, biarpun detik itu, Abby sangat ingin berubah jadi ibu tiri, yang bisa dengan gampangnya menampar Rio.

Ingat Abby, ingat. Kalem!

"Yang ngubah nama dia juga kamu," gerutu Rio, usai ditinggal Abby pergi.

Tak perlu ditampar oleh Abby, dengan senang hati, ia menampar pipinya sendiri. "Lo kok jadi kayak anak kecil gini!"

Rio merasa menjadi cowok yang bersalah.

~°°~

Panas! Gerah! Abby merasakan hal itu, padahal ia masih ada di luar ruangan, dan ia tidak sedang membaca bacaan nista.

"Rio emang bener-bener!" Ia mengoceh sepanjang jalan, sendirian, "Apa mungkin dia nyamain dirinya ke gue? Nyebelin!"

Sambil berjalan, Abby mengipasi dirinya sendiri menggunakan tangan. "Gue masih waras buat tau mana yang cakep, ya Riolah! Makanya gue suka! Ih! Dia enggak peka!"

Abby betah sekali mendumel, hingga akhirnya bel masuk berbunyi. Ia berpapasan dengan Atha, yang keluar dari kelasnya, mencangklong tasnya, dan ia terlihat patah semangat. Bahkan, saat Abby memanggil namanya, cewek itu tak menggubrisnya.

"Atha," panggil Abby, tapi cewek itu terus berjalan, hingga akhirnya Abby mencekal tangan kawannya.

Barulah Atha sadar dari lamunan jeleknya. "Eh, Abby? Loh, kamu kok enggak bawa tas? Ayo pulang." Cewek itu tersenyum lugu, dan Abby mengembuskan napas pasrahnya.

"Ini bel masuk, bukan bel pulang, Agatha," kata Abby, dan Atha menjawab, "Sama ajalah, sama-sama bikin aku cepetan sampe rumah."

"Buat apa? Emang ada hal penting?"

"Aku pengen nangis," jawab Atha, yang tetap mempertahankan senyum sok kuatnya.

~•••~

Vote and Comment!

Gak ada damainya lagi sekarang, aku mo bikin mereka bertengkar ah.... Hehehe.... Masih SMA, masih labil ヽ(✿゚▽゚)ノ

Well, sampai jumpa di bab selanjutnya, dan selamat tahun baru 2017 (~˘▾˘)~

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang