IL-45-Modus [Abby]

25.2K 1.6K 53
                                    

IL-45-Modus [Abby]

Merasa horor, setiap kali ketemu Sam di lorong sekolah. Tatapannya itu loh, minta banget ditampol. Dia sedang bersandar di dinding, dengan gaya sok kegantengannya, dan memang dia tidak sendirian, ada dua temannya juga. Tapi tetap saja, aku tidak menyukai sikap mengobral dirinya itu.

Tatapannya; godain - gue - dong, yang dia berikan kepada setiap cewek, yang berpapasan dengannya.

Rio sudah bertobat, tapi masih ada satu setan, yang terus saja berbuat dosa.

"Hati-hati elo, kena karma entar," kataku, sambil memukulkan gulungan kertas ke kepala Sam.

Geregetan, melihat mata centilnya.

Omong-omong, dia kan sedang menengok ke lain arah, makanya dia tidak bisa menghindar dari pukulanku, dan memang tidak tahu juga akan kehadiranku.

"Ih!" Sam menggosok bagian kepalanya yang terkena pukulanku. "Lo mah sadis, By!"

Aku bersedekap dada, dan senyum culas terlukis di wajahku. "Khusus buat elo, gue harus sadis, khusus buat elo, gue jadi antagonis."

"Muka elo emang cocok jadi nenek lampir, Ab," kata Billy, teman Sam, yang duduk di lantai, sambil ngunyah kuaci.

Aku mengepalkan tanganku, dan bersikap seolah akan memukulnya. "Diem elo bocah!" kataku, tak terima ya kalau gadis cantik sepertiku, disebut nenek lampir.

Aku ini cocoknya disamakan dengan barbie!

"Elo abis dari mana?" Sam celangak-celingkuk, memperhatikan ke belakangku, "Si Rio mana?"

Aku mengedikkan bahu, seraya menggeleng. "Enggak tau," jawabku.

"Sini," katanya lagi, dia menunjuk gulungan yang kubawa.

Kuberikan saja, karena kutahu, dia memang anaknya kepo.

"Pacar sendiri kagak tau ke mana!" Sialnya, dia balas dendam kepadaku.

Gulungan itu, dia pukulkan ke kepalaku, bukan hanya sekali, namun hingga tiga kali.

Suara Sam pun gemas sekali. "Elo pacar apaan, hah?!"

Refleks, aku membentuk tameng di kepalaku, menggunakan kedua tanganku. "Kan gue emang enggak tau!"

Karena ulah Sam, yang suka sekali membully balik diriku, aku jadi ditertawai oleh kedua kawannya.

"Jangan ketawa lo pada!" tunjukku kepada mereka, namun mereka tidak mengacuhkanku.

"Mereka pantes ketawa. Ngetawain cewek yang suka nelantarin cowoknya," kata Sam tiba-tiba.

Lah?

"Eh? Apa maksud elo?" Tadinya, aku mau ke toilet, tapi karena sepertinya obrolan bersama Sam ini; cukup penting, aku jadi bersandar di sebelahnya.

"Kagak," timpalnya, dan mendorong bahuku - mengusirku.

"Pergi sono, pergi, entar tinggal gue yang digosipin lagi." Ucapan Sam, sungguh membingungkanku.

"Gosip? Gosip apa lagi?" Aku menengok ke belakang, tapi Sam terus saja mengusirku pergi.

Dia mengusirku, seolah aku kuman baginya!

"Ih Sam...," kataku, berusaha tetap berada di dekatnya, "Gosip apakah? Ceritain...."

Aku sudah bersikap bak memohon, tapi dia hanya menggeleng saja, dan terus berkata; tidak - ada - apa - apa.

"Abigail!" seru seseorang dari arah belakang, dan aku familiar dengannya.

Memohon kepada Sam, kutunda dulu. Aku berbalik badan, dan mengurusi urusanku dengannya - Julian.

"Apa, Jul?" tanyaku, yang berpisah dengannya tadi di ruang Osis, karena kupikir, bisnis kita sudah usai.

Aku sudah membantunya menggarap proposal anggaran, dan aku hanya tinggal ayun-ayun kaki.

"Ini," katanya, seraya menyerahkan sesuatu, yang membuat kedua mataku terbelalak.

"Hape gue?" Aku menerimanya.

"Iya, itu hape elo. Tadi ketinggalan di meja komputer," tuturnya, "Elo mah ceroboh."

Dia tersenyum meledek.

Sambil memeriksa ponselku, aku berkata, "Makasih, Jul. Gue malah enggak tau kalo hape gue ketinggalan di ruang Osis."

Aku hendak tertawa, namun tidak jadi, yang ada aku tertegun.

Kenapa?

Karena tahu-tahu, tangan Jullian terulur, dan mengacak-acak rambutku. "Udah gue duga," ia terkekeh-kekeh kecil, "Pantes aja lo gak balik-balik lagi ke sana."

Aku menyengir kuda, sembari menyisir rambutku yang jadi bahan acak-acakannya. "Ya gue-"

"Aduh...!" Sam menginterupsi dengan rintihannya.

"Aduh ... gue mules...," katanya, sambil memegangi perut, dan terhuyung-huyung ke tembok.

"Napa nih bocah?" Otomatis, aku mempedulikannya.

"Lo kenapa? Apa yang sakit?" Jelas saja aku cemas, karena Sam terus saja merintih, dan malah mulai mual-mual.

Bukannya membantu, dua kawannya, hanua tertawa saja.

"Bantuin elah! Ini temen elo kesakitan!" kataku, benar-benar dengan kecemasan yang memuncak.

Tangan Sam memegang pundakku, dan muka kami bertatapan. "Gue mules, Ab," katanya.

"Mu ... mules?" Aku tak paham.

Dia mengangguk perlahan, kemudian tangannya bergerak, telunjuknya teracung kepada Julian, tentu aku mengikutinya . "Gue mules sama modusnya dia," ujar Samuel Herjuno.

"Anjay!" Aku tabok saja kepala Sam lagi, "Gue kira apaan! Elo nih ya!"

Sam kembali berdiri dengan benar, di saat yang sama, Jullian berkata, "Gue ke ruang Osis lagi, Ab."

Aku mengangguk, dan melambaikan tangan; membalasnya. "Oke!" Tak lupa, tersenyum ramah.

Setelah Jullian pergi, riwayat Samuel, akan segera tamat.

Aku memicingkan mataku ke arahnya. "Lo jangan bikin gue sebel, Samuel!" Kuhentakkan kakiku ke lantai.

Tawa Sam memudar dengan cepatnya. "Tingkah elo yang bikin gue kesel."

Usai berkata demikian, dia mengajak dua temannya; pergi meninggalkanku.

Aku benar-benar tidak suka dengan guyonan Sam tadi!

Emosiku, yang ingin melempar sepatu ke kepala Sam, agar cowok spesies playboy setan itu berhenti melangkah, tak jadi kulakukan, karena aku mendapatkan pesan obrolan dari Rio.

From : RiRi😘

Kamu di mana? Jangan bilang kamu lagi ama Jullian! 😤😤

Oh, shit.

~•••~

Vote and Komen😘😘

Pasti kalian merasa ada bagian yang 'Hilang', ya enggak?

Sabar yak....entar semuanya dijelasin satu-satu😝😝

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang