IL-36-Perang Dunia ke-3 [Abigail]

36.1K 2.4K 35
                                    

IL-36-Perang Dunia ke-3 [Abigail]

Ini sudah hari Rabu, berarti sudah genap dua hari Sam tidak kunjung membalas pesan-pesanku. Aku sudah berada di ambang batas kesabaran, sabar untuk memberinya waktu menyendiri. Aku pikir dengan begitu, dia akan memberanikan diri menceritakan segala masalahnya padaku. Saling berbagi cerita dan memberikan solusi, bukankah itu yang dilakukan seorang sahabat selain bersenang-senang bersama?

"Mau bayar SPP?"

Aku menggeleng. "SPP saya udah lunas sampai tahun depan, Bu. Saya mau minta datanya Samuel kun... ah, maksud saya Samuel Herjuno. Anak IPA-Enstein." Hampir saja aku menyebutkan kata 'Kunyuk' saking sebalnya aku terhadap Sam yang tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

Ibu penjaga TU tersenyum sinis. "Maaf. Meminta data seperti itu dilarang di sini," ucap Ibu yang bercepol dengan banyak kerutan di wajah garangnya.

"Aduh Ibu," Aku mempertahankan wajah manisku, "Ibu tidak tahu siapa saya? Saya anak dari penyumbang dana kedua terbesar di sini. Ibu mau kehilangan mata pencaharian Ibu?" Aku sekadar menggertaknya.

Sejujurnya aku tidak sampai hati untuk memecat dan memiskinkan orang. Aku tidak memiliki kuasa, yang punya kekuasaan adalah Papahku.

Raut wajah Ibu itu berubah cemas, namun hanya sebentar saja. "Maaf, tetap tidak bisa. Hal ini sudah menjadi peraturan sekolah."

"Bukannya peraturan dibuat untuk dilanggar ya, Bu?" tutur seseorang yang mengantre di belakangku.

Aku menengok ke samping karena cowok itu sekarang ada di sampingku.

Ibu penjaga TU terlihat menimang-nimang, dia tersenyum sinis lagi. "Tetap tidak bisa. Sudah berhenti bermain-main di sini jika tidak ada keperluan lain yang penting!" katanya judes.

"Das-"

"Baiklah terima kasih atas bantuan Ibu yang maaf, kurang cantik." Kalimat sarkastik cowok yang memotong ucapanku membuatku mengulas senyum. Perkataannya pedas dan menohok sekali.

Wajah si Ibu sok--mematuhi--peraturan itu berubah merah padam kemudian dia minggat dari loket yang dia tempati.

Seusai kepergian Ibu itu, aku terbahak hingga memegangi perutku. "Lo... mulut lo pedes banget! Gila lo!" Aku terbahak.

Cowok itu menatapku heran lalu terkekeh kecil. "Itu bakat gue dari lahir," katanya bangga.

Aku mengusap sudut mataku yang mengeluarkan air mata. "Ya, ya, pokoknya apa yang lo ucapin bener-bener menghibur gue! Ah, tapi," Aku melihat ke dalam loket kembali, "tapi gue ga jadi dapet informasi deh."

Cowok yang rambutnya ditata ke atas itu sedang menggulung bukunya. "Kalo gue jadi lupa bayar uang SPP."

Aku tersenyum. "Masih ada lain kali, 'kan? Okelah. Gue duluan, dah!" Aku menepuk bahunya sekali sebelum melangkah pergi.

"Hei!" Seruan cowok sarkas itu menghentikan langkahku.

Aku pun menengok. "Ya?"

"Lo lagi cari informasi apaan? Ngomong-ngomong, gue tau semua informasi murid-murid sekolah kita," katanya.

Aku mengerjapkan kelopak mataku dengan wajah yang berseri-seri. "Serius?! Kalo gitu, tolongin gue!"

Cowok yang memiliki badge kelas sebelas dan bordiran namanya kubaca, nama dia adalah Julian Oliver. Cowok bernama Julian ini lebih pendek sedikit dariku.

Dia tersenyum, dan kuanggap senyumannya itu berarti mengiyakan permintaanku.

++++++

(Ongoing) Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang