Bab Delapan

28 8 10
                                    

Theo Zword membalas lambaian tangan Louis sambil tersenyum, sebelum akhirnya ia menatap pintu tertutup di hadapannya. Theo memegang ganggang pintu dan segera mendorongnya masuk.

Terlihat beberapa anak asyik mengobrol membentuk kelompok masing-masing di dalam ruang olahraga yang besar. Joey Hudson, guru keterampilan berpedang, sekaligus guru olahraga diangkatan Theo, sepertinya belum datang. Theo yang sudah berganti baju segera melangkah masuk dan berjalan mendekati dua buah lemari besi disudut ruangan.

"Hai, Zword." Sapa dua orang anak laki-laki yang sedang mengobrol di dekat lemari.

"Hai," balas Theo sambil membuka salah satu lemari. Di dalamnya, terdapat beberapa pedang yang dibungkus dalam sarungnya bersandar dipunggung lemari. Theo mengambil salah satu kemudian menutup pintu lemari. Untuk lemari yang satu lagi, di dalamnya terdapat tongkat-tongkat logam seukuran pedang asli yang digunakan untuk latihan persiapan kompetisi. Sengaja dibuat dalam bentuk tongkat agar tak ada yang terluka.

Theo mengeluarkan pedang tersebut dari sarungnya. Pedang yang digunakan selama proses pembelajaran bukan pedang asli. Murid-murid dilarang menggunakan pedang asli untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pedang itu terbuat dari aluminium, mengilap dan ringan ketika digunakan. Berbentuk seperti persegi panjang dengan ketebalan sekitar dua millimeter.

Aku jadi kangen pedangku. Theo memasukkan kembali pedang tersebut ke dalam sarungnya. Theo memiliki sebuah pedang asli yang disimpan oleh Hudson sampai waktu kelulusan. Pedang itu adalah peninggalan ayahnya yang diberikan lewat ibunya. Theo sangat berhati-hati menjaga pedang tersebut sebelum ia masuk Axandemme. Bahkan ia belum pernah sekali pun mengeluarkannya dari sarungnya. Pedang itu satu-satunya benda yang dapat mengingatkannya kalau ia pernah mempunyai seorang ayah, meskipun telah tiada sebelum ia lahir.

"Semuanya! Ayo berkumpul!" panggilan Hudson menyadarkan Theo. Theo segera berlari kecil menuju tengah ruangan, diikuti anak-anak yang lain. Mereka segera membentuk dua baris memanjang. Murid-murid yang ikut keterampilan berpedang tidak banyak. Tahun ini ada 18 orang murid—termasuk Zero—dan 3 diantaranya adalah seorang perempuan—senior Theo yang akan lulus ditahun ini.

Hudson memandang muridnya satu per satu sambil tersenyum lebar seperti biasa.

"Nah, hari ini kita kedatangan satu teman baru," ujar Hudson sambil menatap Zero yang berada diujung barisan belakang. Semua anak menoleh ke arah Zero yang terlihat tak peduli. "Siapa namamu?"

"Zero Fang."

"Baiklah, Zero Fang. Sebelum memulai kelas, aku akan mengatakan beberapa aturan dalam kelas ini." Hudson berjalan menghampiri Zero dan menatapnya lurus. "Pertama, jangan lupakan pemanasan. Kedua, kembalikan pedang yang telah digunakan ke lemari. Dan ketiga—ini yang paling penting—ingatlah bahwa semua yang ada di ruangan ini adalah teman-mu. Meski pun duel sedang berlangsung, jangan pikirkan untuk melukai siapa pun yang sedang menjadi lawanmu. Bersikaplah sportif dan jangan terbawa emosi."

Raut wajah dingin Zero tak berubah.

"Kau mengerti?"

"Ya."

"Baiklah kalau begitu," Hudson kembali berjalan ke tempatnya semula. "Mari kita pemanasan dulu! Zword, kau pimpin."

Selesai pemanasan, anak-anak segera menyingkir dari tengah lapangan dan sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang duduk dan mengobrol di pinggir lapangan, ada juga yang mulai berlatih sendiri mau pun berpasangan.

"Hari ini aku ingin melihat sejauh mana kemampuanmu, Fang." Kata Hudson sambil menghampiri Zero. Zero mengangguk sambil mengeluarkan pedangnya. Ia menatap lurus ke arah Hudson.

Hudson langsung tertawa melihat pedang Zero yang diarahkan kepadanya. "Bukan denganku, Fang. Zword!"

Mendengar namanya dipanggil, Theo menoleh. "Ya, Pak?"

"Aku ingin melihat kemampuannya. Bisa kau bantu aku, um ... 3 menit saja?" pinta Hudson pada Theo yang segera menghampiri. Theo menatap Zero sejenak, lalu mengangguk.

"Tentu saja, Pak." Jawab Theo.

"Tidak usah menahan diri, ya," ujar Hudson. Theo menyeringai.

"Tidak akan."

Hudson mengangguk sekali. "Kalau begitu bersedialah."

Theo segera berjalan ke tengah ruangan. Zero mengikuti dan berhenti beberapa meter di hadapan Theo. Theo diam sejenak, memejamkan matanya sambil menghembuskan napas. Ia membuka matanya, segera mengeluarkan pedangnya dan memasang kuda-kuda. Zero juga langsung memasang kuda-kudanya.

Hudson memperhatikan kedua muridnya, lalu memberi isyarat untuk bersiap. Sedetik kemudian ia berteriak, "mulai!"

Bersambung

[Author]

Bab Delapan, selesai! Gimana menurut kalian? Krisarnya, please? Di-vomment, yaa. Tolong disebarkan dengan orang-orang tentang cerita ini juga~

Terima kasih telah membaca!

The BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang