Bab Sembilan

21 6 4
                                    

Louis Flacke berkonsentrasi memandang lurus ke depan. Ia menarik busur panahnya, lalu setelah beberapa detik perkiraan, ia melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat hingga akhirnya menancap tepat ditengah-tengah sasaran.

"Ya!" Louis berseru gembira. Lelaki jangkung berkumis cokelat yang berdiri tak jauh dari Louis memandangnya puas.

"Bagus, Louis. Kemampuanmu semakin meningkat," puji lelaki itu—guru pembimbing keterampilan memanah.

"Terima kasih, Pak!" Louis tersenyum dan segera beranjak. Ia mengambil tempat dibarisan paling belakang.

"Kalian harus terus berlatih keras, anak-anak, agar kalian semakin mahir. Semangat!" kata guru pembimbing tersebut sambil mengangkat tinjunya di depan dada.

"Semangat!" seru semua murid.

"Kelas selesai." Tutup sang guru. Murid-murid berterima kasih dan segera bubar. Louis cepat-cepat berlari dari arena panah menuju ruang olahraga.

Aku jadi penasaran, pikir Louis selama berlari kecil. Tahun lalu Theo bilang semua murid yang baru bergabung dalam keterampilan berpedang dites kemampuannya melawan senior yang paling hebat. Zero yang baru masuk pasti juga dites, dan tahun ini yang terhebat dalam berpedang adalah Theo. Apa tadi mereka berduel? Bagaimana ya, hasilnya?

Saat itu, Louis berpapasan dengan seseorang yang baru saja ada dipikirannya. Setelah melewatinya, Louis berhenti dan menoleh, menatap punggung Zero yang mulai menjauh.

Rasanya aku pernah melihat Zero sebelum ini. Alis Louis berkerut, mencoba mengingat-ingat kapan ia pernah melihat Zero, sebelum Zero pindah ke Axandemme. Beberapa saat dan Louis masih tak tahu kapan, ia pun angkat bahu dan kembali berlari kecil. Mungkin hanya perasaanku saja.

Louis kembali berjalan. Sekelebat pikiran melintas. Tapi aku benar-benar yakin pernah melihatnya.

"Theo!" setibanya di ruang olahraga, Louis segera membuka pintu. Ruangan itu terlihat sudah sepi, hanya ada seseorang berdiri diam di depan lemari di sudut ruangan.

"Hei, Theo Zword!" panggil Louis sambil berjalan menghampiri. Lelaki itu menoleh.

"Oh, Louis."

"Sedang apa kau di depan lemari?" Louis memperhatikan Theo, lalu beralih ke lemari besi di hadapannya. "Lomba tatap-menatap?"

Theo menggeleng sambil tertawa kecil. "Ngapain kau ke sini?"

"Ngapain? Tentu saja untuk bertemu denganmu!" sahut Louis nyengir.

"Nggak usah sok romantis. Aku masih normal." Theo mundur beberapa langkah. Louis langsung meliriknya kesal.

"Aku juga tak akan selera denganmu, meski pun aku seorang perempuan," canda Louis dengan ekspresi serius.

"Kenapa? Padahal aku kan juga cukup popular," ujar Theo sambil menyengir.

"Pede sekali dirimu, Theo Zword!" Louis berseru kesal, teringat beberapa kali Theo pernah menerima surat atau pernyataan cinta dari gadis-gadis yang naksir dengannya. Namun tentu saja Theo menolaknya.

"Kalau aku jadi perempuan, aku mungkin jatuh cinta pada diriku sendiri," canda Theo. Louis langsung melirik Theo setengah tak percaya.

"Aku tak menyangka kau ternyata senarsis ini."

"Lupakan. Aku hanya bercanda, kok." Theo tertawa. "Kalau aku jadi perempuan, mungkin aku akan naksir Hanna, jika ia jadi laki-laki."

Louis langsung terbahak. "Sudahlah. Ayo ke asrama," ajak Louis. Theo segera berjalan menyusul.

"Ngomong-ngomong," celetuk Louis ketika mereka berjalan di koridor, "bagaimana dengan murid baru itu?"

Theo terdiam beberapa saat, kemudian menghela napas sambil mengaitkan jari-jarinya dibelakang kepalanya. "Yah, dia tidak buruk juga."

"Maksudmu ...?" ucapan Louis terputus, tapi ia sudah punya dugaan. Theo mengangguk.

"Bisa dibilang berakhir seri," ujar Theo. Louis langsung terbahak.

"Wah, akhirnya saingan baru Theo Zword muncul juga."

Theo melirik Louis, seakan tak percaya. "Kok nampaknya kau senang sekali?"

"Oh iya, dong! Sahabatku yang sebelumnya seakan berada di atas angin karena tak memiliki saingan satu pun—selain Pak Hudson—tiba-tiba saja bertemu dengan seorang murid baru sombong yang ternyata memiliki kemampuan setara dengannya dalam hal berpedang. Menarik!" Louis bertepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya.

Theo memutar bola matanya. "Terserah kaulah."

Bersambung

[Author]

Bab Sembilan, selesai! Gimana menurut kalian? Krisarnya, please? Di-vomment juga yaa. Jangan lupa sebarkan dengan orang-orang tentang cerita ini~

Terima kasih telah membaca!

The BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang