Bab Dua Belas

26 5 3
                                    

Theo Zword berjalan menuju ruang kepala sekolah. Semalam Alfred, wali kelasnya, memergoki Theo dan Zero yang sedang berduel tanpa izin. Karena sudah terlalu larut, Alfred langsung menyuruh mereka kembali ke kamar. Tapi pedang Zero akan disita. Alfred juga mengingatkan mereka untuk menemui kepala sekolah hari ini, pada jam istirahat.

Theo berhenti di depan pintu ruang kepala sekolah dan menghela napas. Setelah mengetok pintu, ia segera membukanya dan masuk ke dalam.

Ruang kepala sekolah cukup luas. Ada meja kerja yang membelakangi jendela kaca besar, lengkap dengan dua buah kursi di hadapannya. Lemari kayu yang berisi buku-buku dan arsip-arsip menempel didinding, dan ada lagi sebuah meja kayu panjang dengan beberapa sofa mengelilingi.

Salah satu kursi di depan meja kerja kepala sekolah telah ditempati Zero. Sementara seorang lelaki berdiri menatap keluar jendela kaca di hadapannya, membelakangi Zero dan Theo. Lelaki itu adalah kepala sekolah Axandemme, Razazel Cannova.

Theo segera duduk di kursi yang berada di sebelah Zero. Ia melirik Zero sekilas. Terbayang dibenaknya pedang hitam yang entah sejak kapan berada ditangan Zero semalam. Tapi yang aneh bukan itu saja. Setelah Alfred memergoki mereka, pedang hitam tersebut menghilang dari tangan Zero dan digantikan dengan sebuah tongkat logam. Seingatku itu tak ada di sekitar kami.

"Hari yang indah, bukan?" Razazel berbalik dan menatap kedua murid di hadapannya. "Tak kusangka ada dua orang murid yang harus menemuiku dihari yang cerah ini."

Theo dan Zero tak menyahut. Razazel segera duduk dikursinya.

"Theo Zword dan Zero Fang." Sambil bersandar dikursinya, dia menatap Theo dan Zero satu per satu.

Theo sendiri tidak menyangka kalau sang kepala sekolah bisa mengetahui nama mereka. Atau mungkin sudah diberitahu sebelumnya, bahwa kami yang akan menemuinya?

"Kalian tahu apa kesalahan kalian?"

"Ya, Pak."

"Berapa peraturan yang kalian langgar?"

"Dua?" Sahut Theo ragu.

"Empat." Berbarengan dengan Theo, Zero menjawab dengan yakin. Theo langsung menoleh ke arah Zero dengan alis berkerut.

Razazel membetulkan posisi duduknya, terlihat tertarik. "Apa saja itu, Zero Fang?"

Zero terdiam sejenak. "Keluar asrama tanpa izin di atas jam 9, berduel tanpa guru pendamping, berduel menggunakan pedang asli dan tidak menitipkan pedang asli pada guru."

Oh, benar juga. Theo teringat pedang asli yang diberikan Zero padanya. Hah, menambah masalah saja, gara-gara pedang asli itu. Theo tertegun. Tunggu. Kenapa sejak awal kami tak berduel menggunakan tongkat logam saja? Kenapa ia menyuruhku menggunakan pedang aslinya, jika ia tahu ini jelas melanggar aturan?

Razazel manggut-manggut. Ia tersenyum menatap Zero. "Kau lupa satu lagi, Zero Fang."

Zero terdiam.

"Bagaimana mungkin ... kalian berduel di ruangan yang seharusnya terkunci?"

Theo melirik Zero. Ia tidak tahu apa-apa, karena Zero sudah berada lebih dahulu di ruang olahraga.

"Ruangan itu," Zero menatap Razazel tanpa ekspresi, "memang tidak terkunci."

Theo menatap Zero setengah tak percaya. "Kau serius? Bukan kau yang membukanya?"

"Bukankah seorang guru memergoki kita? Berarti sebelumnya ia tak mengunci pintu ruang olahraga."

"Benar juga," gumam Theo. "Kau tau darimana kalau pintu ruang olahraga belum dikunci?"

"Aku sempat memeriksa ruang guru dan lampunya masih menyala," sahut Zero.

"Begitu."

Tiba-tiba Razazel tertawa kecil. "Baiklah, aku hanya ingin memastikan. Selanjutnya ... ah, pertanyaan lagi untukmu, Zero Fang."

Zero memandang Razazel. Sedikit, sikapnya terlihat defensif. Theo memandang kedua orang itu bergantian. Seakan aku tak ada di ruangan.

Bersambung

[Author]

Bab Dua Belas, selesai! Gimana menurut kalian? Krisarnya, please? Jangan lupa di-vomment, yaa. Terus bantu si Author dengan menyebarluaskan cerita ini~

Terima kasih telah membaca!

The BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang