Bab Dua Puluh Dua

15 2 3
                                    

Istirahat pertama tiba. Hanna Salizabelle membuka pintu ruang guru sambil berucap, "permisi."

"Oh, Hanna." Seorang pria memanggilnya. Hanna segera menghampiri pria yang tak lain adalah wali kelasnya, Alfred Smith.

"Anda sudah kembali," sapa Hanna. Seminggu yang lalu, Alfred izin keluar kota karena ada urusan keluarga. Hari ini, ia sudah kembali.

Alfred tersenyum. "Tolong bawakan buku catatan teman-temanmu, ya."

Hanna mengangguk. Alfred menyerahkan tumpukan buku-buku kepadanya. "Oh, bisa kau bawakan buku-buku cetaknya juga?"

Hanna melirik tumpukan beberapa buku cetak dimeja Alfred, lalu buku-buku catatan ditangannya.

"Kau tidak keberatan, kan? Kalau iya—"

"Tidak," potong Hanna. Ia memasang senyum manisnya. "Tentu tidak, Pak."

Alfred balas tersenyum dan meletakkan buku-buku cetak itu diatas tumpukan buku catatan yang sedang dipegang Hanna.

"Kalau begitu saya permisi." Hanna mengangguk sekali, kemudian berjalan keluar. Beruntung ada yang masuk ke ruang guru, jadi dia tak perlu repot membuka-tutup pintu.

Hanna mendesah sambil berjalan. Sebenarnya bagi Hanna buku-buku ini belum seberapa beratnya, namun tumpukannya menghalangi pandangan Hanna sehingga ia harus berhati-hati selama berjalan. Ia juga tak mungkin menolaknya. Selain karena ini adalah tugasnya sebagai ketua kelas, harga dirinya juga menolak untuk mengatakan tidak. Perempuan tidak selamanya lemah! Begitu prinsipnya.

Tiba-tiba seseorang melewati Hanna. Sekilas, namun Hanna dapat memastikan bahwa lelaki berkacamata itu adalah Zero Fang. Selintas kejadian ketika ia bertanya tentang keterampilan pada Zero muncul dibenaknya.

Untungnya sudah seminggu berlalu. Hah, lupakan sajalah. Hanna menghela napas. Daripada itu ...

Terbesit sebuah ide dalam benaknya. Hanna tahu kalau ia belum terlalu mengenal Zero. Sudah menjadi tugasnya sebagai ketua kelas untuk mengenal teman-temannya agar bisa menjadi pemimpin yang baik dan dihargai.

"Um, Fang—tidak, tidak. Zero! Bisa ... bantu aku?" pinta Hanna, setengah berseru karena Zero sudah beberapa meter di depannya. Zero berhenti dan menoleh.

"Bukankah itu tugasmu, ketua kelas?"

Kalimat dari mulut Zero barusan tentu saja membuat Hanna melongo. "Oh, i-iya memang. Tapi ... tak ada salahnya membantuku, kan? Lagipula aku ..." Hanna mengisyaratkan bahwa buku-buku itu menghalangi pandangannya.

"Menyusahkan." Kata Zero."Aku tak tertarik menolongmu."

Setelah mengatakan itu, Zero beranjak meninggalkan Hanna yang tertegun.

Satu detik, dua detik ...

"Aah, aku tidak tahan lagi! Hei, Zero Fang! Ternyata kau benar-benar sombong, ya! Aku tadi hanya pura-pura kesusahan tahu! Jangan berpikir aku perempuan lemah yang begini saja tidak bisa kubawa. Dasar menyebalkan! Aku akan mengingat ini!"

Kalau saja Hanna bukan ketua kelas yang menjadi teladan bagi teman-temannya, gadis itu pasti sudah melempar buku cetak tebal ditangannya ke kepala Zero. Teriak-teriak di koridor saja sudah tidak baik. Untung koridor ini sepi! Dasar Zero Fang menyebalkan!

Zero tidak merespon. Ia terus berjalan sementara Hanna memandang punggungnya tajam. Ia membeku ketika mendengar pintu ruang guru digeser.

"Hanna!" terdengar suara Alfred memanggilnya. Hanna menoleh kaku. Alfred segera menghampiri.

"Bisa sekalian kau sampaikan pesanku pada Theo dan Zero?" permintaan Alfred membuat Hanna nyaris menghembuskan napas lega. Kupikir aku akan dimarahi, batin Hanna.

"Eh, tadi ada Zero." Hanna menoleh ke arah Zero yang sudah menjauh.

"Oh, Zero!" Alfred memanggil. Zero berhenti dan menoleh. Alfred mengisyaratkan agar Zero menghampirinya. Zero diam sebentar, lalu berjalan ke arah Alfred. Hanna terus menatap tajam ke arah Zero hingga ia tiba di dekatnya.

"Kalau begitu saya permisi," Hanna menunduk sopan kepada Alfred. Ia beranjak, sambil untuk terakhir kalinya melirik sinis ke arah Zero. Yang dilirik hanya memasang tampang tak acuh.

"Karena kau dan Theo ketinggalan pelajaran selama seminggu, aku akan memberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Beritahu Theo, ya."

Tak terdengar jawaban. Mungkin Zero hanya membalas dengan anggukan. Hanna nyengir. Theo bakal terlibat lagi dengan murid baru itu.

Bersambung

The BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang