Part [28]

62.9K 4.8K 303
                                    

PART 28

" Terkadang yang paling besar pengaruhnya adalah keterbukaan rasa kedua insan dalan setiap hubungan. "

Pagi ini Ken sarapan dengan Adrina. Matanya memperhatikan Adrina yang sedang mengupas mangga. Seketika Ken menghela napasnya kuat. Dia merasa bingung akan keadaan.

Adrina sudah pulih kembali. Ken mengambil libur dadakan selama tiga hari dan mereka hanya diam di rumah. Waktu itu bertepatan dengan Mama Adrina datang ke rumahnya--Ken menyuruh seorang dokter untuk memeriksa Adrina. Kata dokter itu Adrina mual dan muntah-muntah adalah hal yang wajar mengingat Adrina sedang hamil.

"Ken." panggil Adrina membuat Ken menatapnya, "Kenapa?" tanyanya. Adrina memperhatikan tiga hari belakangan ini Ken hanya diam. Kadang kalau di tanya hanya menjawab seperlunya--tidak seperti biasanya.

"Gak kenapa, " balasnya.

"Gak kenapa tapi melamun terus. Pasti masalah kerjaan ya? Kan aku udah bilang aku gak pa-pa kalau kamu mau tinggalin." ucap Adrina.

"Ini lebih dari masalah pekerjaan." batin Ken.

"Gak kok Rin, Cuman masalah kecil di kantor aja." ucap Ken membuat Adrina berhenti mengupas mangga dan menaruhnya. Kedua tangan Adrina terlipat di atas meja.

"Ken, kita udah temenan lama. Lama banget. Sempet musuhan, deket, musuhan lagi, deket lagi dan gitu seterusnya. Aku tau kamu nyembunyiin sesuatu. Sebenernya apa yang kamu sembunyiin?" Ken mengembuskan napasnya. Dia tetap diam--bungkam.

"Ken, gimana kita bisa jalanin rumah tangga kita dengan baik kalau kamu gak bisa terbuka sama aku. Kamu pernah bilang kalau aku harus percaya sama kamu dan gak ragu sama kamu tapi, sekarang, siapa yang gak percaya?"

"Ini bukan masalah percaya atau ragu, Rin tapi--"

"Bosen?"

Ken mengerjapkan matanya saat sepatah kata itu keluar dari mulut Adrina. Adrina salah paham bahwa dia bosan. Dia tidak pernah bosan dengan Adrina. Hanya saja ini waktunya belum tepat.

"Kalau kamu bosen sama aku. Bilang. Aku gak pa-pa."

Ken bangkit setengah dan menyentil kening istrinya itu.

"Aduh, sakit Ken!"

"Kamu sih. Pagi-pagi udah bikin gemes. Kapan coba aku pernah bosen sama kamu? Dapetin kamu aja susah." ucap Ken sambil duduk kembali.

"Idih susah, kita bahkan nikah gara-gara sebuah insiden waktu itu. Kapan kamu berjuangnya buat aku?"

Seketika Adrina diam karena ia tau ia salah berkata. Mendadak Ken juga diam. Perkataan Adrina ada benarnya juga.

Seketika Ken mengulas senyum kecil. Dia tidak marah terhadap Adrina melainkan gemas.

"Emang aku gak pernah berjuang buat dapetin kamu. Itu bukan perkara. Tapi tanpa berjuang pun aku tau kamu punyaku." Perkataan Ken sukses membuat wajah Adrina merah karenanya.

"Dulu pas SMA, aku jauhin kamu. Inget waktu kamu pacaran sama Adilo? Waktu itu sisi jahat aku bilang kalau seharusnya kamu jadi milik aku bukan dia. Tapi aku lebih baik menghindar. Ya, begitu lebih baik. Aku pikir kita hanya bakalan mentok sama ikatan persahabatan, tapi aku salah. Tuhan nyatuin kita dengan cara seperti itu. Dan disinilah kita. Bukan sebagai sahabat yang kadang berantem, musuhan, lalu baikan. Melainkan kita di sini sepasang suami istri."

Adrina tersenyum menatap Ken yang mengusap sebelah punggung tangan kanannya.

"Pidato kamu panjang banget."

KENADRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang