Part [1]

194K 8.7K 148
                                    

PART 1

Langit sudah cerah. Warna gelap sudah berganti menjadi kemerahan lalu perlahan-lahan berubah menjadi biru. Beberapa burung-burung mewarnai langit kosong tanpa awan itu. Bias cahaya matahari menusuk kedua mata Adrina. Perempuan berambut hitam yang terlihat berantakan itu mengerjapkan matanya dan mengeram tertahan. Ia baru saja terbangun dan melirik jam di nakasnya dengan malas. Adrina mengangguk-angguk sendiri–masih dalam keadaa kurang sadar. Dia menggaruk kepalanya dan menguap. Beberapa kali ia melakukan hal itu. Adrina sekarang termenung dan mengecek kembali jam di nakas. Seketika itu matanya membulat sempurna melihat jam yang ada di sampingnya.

"Mampus!! Telat ke kampus!!" ucap Adrina lalu dengan tergopoh-gopoh serta kaki terseret-seret ia masuk ke dalam kamar mandinya. Dengan cepat ia selesai mandi dan mulai bersiap-siap. Mana dia lupa nyiapin buku buat hari ini lagi. Perempuan itu dengan tergesa-gesa turun lewat tangga rumahnya. Adrina langsung menuju ke bawah dengan tas dan buku yang ia bawa untuk kuliah hari ini.

"Pagi Ma, Pa," sapa Adrina lalu duduk. Tanpa menunda apa pun dia dengan cepat meminum susu yang ada di atas meja. Susu itu segera raib olehnya dan roti selai kacang juga habis termakan. Sekarang mulut Adrina penuh terisi dan ia bangkit dari duduknya masih dengan gerak cepat-cepat.

"Sayang, hati-hati dong," ucap Naomi–Mamanya memperingatkan dia agar pelan-pelan. Bagi Stevan dan Naomi, Adrina sudah terbiasa seperti ini. Jadi mereka maklum saja. Sudah beberapa kali dikasi tau agar tidak mengulangi hal seperti ini. Namun Adrina seakan susah menghilangkan kebiasaan buruk ini.

"Rina udah telat ini Ma, Pa," ucapnya dengan menelan sisa-sisa roti itu lalu menyalim tangan Mama dan Papanya.

"Lebih baik terlambat daripada gak makan yang bener, apalagi ngebut-ngebutan. Bahaya Rina." ucap Stevan – Papanya mengingatkan sambil melipat koran yang tadi dibacanya lalu menatap Adrina yang nyengir lebar ke arahnya.

"Maaf Ma- Pa. Tapi ini gaswat banget deh! Bisa berabe kalau gak dateng ke dosen super galak itu tuh tepat waktu, bisa-bisa Adrina nan cantik jelita ini kena hukum lagi. Ah, Adrina gak mau." ucapnya percaya diri membuat Naomi mendengus. Anaknya yang satu ini memang ajaib sifatnya. Kadang Naomi heran sendiri melihatnya. Sifatnya lebih ajaib daripada Stevan.

"Biarin aja kamu kena hukum. Orang kamunya kebo," ucap Alden dari ambang pintu dan berjalan ke arah meja makan. Alden–kakaknya yang paling sulung dan memiliki kembaran bernama Aldrin–kakaknya yang nomber dua. Adrina mengernyit–karena tumben sekali kakak lekakinya pulang ke rumah. Tapi dia masa bodo, dia sudah telat untuk berangkat ke kampus.

Adrina menatapnya garang, "Wah-wah, itu mulut makan berapa cabe kak Den? Pedes amat sih." sindir Adrina membuat Alden mencibir dan duduk di meja makan.

"Makannya 10 kilo," ucap Alden ngasal.

Adrina menggeleng takjub, "widih, pantesan pedes gile. Au ah, Rina mau berangkat. Bye maksimaal!" ucapnya lalu melenggang pergi. Samar-samar Adrina mendengar kakaknya tengah menyumpah serapah dan dimarahi oleh Papanya. Adrina tertawa geli dan memainkan kunci mobilnya di jari telunjuk.

Stevan dan Naomi menggeleng melihat kelakuan anak bungsunya itu. Adrina masih saja sifatnya begitu–sangat selengekan. Naomi heran, dia dulu tidak ngidam yang aneh-aneh saat hamil Adrina, tapi kenapa Adrina sifatnya jadi begitu? Ah, itu rahasia Tuhan.

Adrina menaruh bukunya di bagian kursi penumpang di sebelah pengemudi, lalu mengintari mobilnya sambil bersenandung dangdut. Biarpun muka agak kebaratan tapi tetep aja. Dangdut itu jiwa Adrina. Ia masuk ke dalam mobilnya dan menghidupkan mesin. Adrina mengernyitkan dahinya karena mobilnya tidak bisa dihidupkan. Dia mencobanya terus. Berkali-kali dan masih tidak bisa.

KENADRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang