part 2

492 15 0
                                    

            “Ssshhh, sakit bu,”

Niall mengerang saat ibunya mengompres luka lebam di punggungnya yang selebar telapak tangan ibunya. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa hal pertama yang akan dia lakukan saat sampai di London adalah bertelanjang dada di kamar barunya, membiarkan udara dingin menusuk kulit arinya bersamaan dengan saat ibunya mengobati luka di punggungnya.

            “Sebaiknya kita ke rumah sakit sayang,” Ujar ibunya, dia sudah selesai mengompres luka Niall lalu membantu Niall memakai kaosnya.

            “Aku tidak pa pa, baba akan meremehkanku kalau aku periksa ke rumah sakit,”

Niall tersenyum meledek saat mengucapkan kalimat itu kepada ibunya. Ibunya menggeleng pelan, dia mendesah dan terdiam beberapa saat. Niall masih mempertahankan senyumannya sementara kesedihan secara perlahan mulai menyelebungi sinar mata indah wanita paruh baya yang kini duduk di hadapannya itu. Hati wanita itu hancur setiap kali melihat Niall yang selalu bersikap santai, apakah hati anaknya itu sudah membeku?

            “Maafkan aku sayang,” Lirihnya, setitik air mata itu jatuh dan dia langsung menarik Niall ke dalam pelukannya. Dia menangis dalam pelukannya yang tidak dibalas oleh Niall. Niall sudah terbiasa dengan air mata ibunya yang mengalir untuk dan karenanya, dan dia sudah tidak mau merasa sedih lagi karena melihatnya. Tidak mau atau ayahnya akan semakin membencinya karena dia lemah, menangis seperti bayi.

***

Sama seperti malam-malam di Islamabad, makan malam di London berlangsung usai Sholat Maghrib dan tilawah bersama.  Ayah sebagai kepala keluarga di rumah itu sengaja sudah menyiapkan sebuah ruangan khusus untuk beribadah di lantai satu rumah di dekat ruang tengah. Makan malam berlangsung dalam keheningan, tak ada seorang pun yang berbicara, , bahkan tak ada suara sendok dan garpu yang beradu di meja makan itu, satu-satunya hal yang berani memecah keheningan adalah detak jarum jam dinding yang terus menghitung waktu. Sudah menjadi kebiasaan, mereka hanya akan berbicara, memulai percakapan keluarga setelah acara makan selesai dan ayah yang akan memulainya.

            “Jadi, Zayn. Kau sudah tahu jalan menuju sekola barumu?”

Ayah berbicara setelah dia membersihkan sisa makanan di mulutnya dengan tissue, suasana yang kaku mulai mencair setiap pembicaraan dimulai.

            “Belum baba, tapi aku dan Niall nanti akan mencarinya di intenet, dari alamatnya kurasa tidak terlalu jauh dari sini, iyakan Niall?”

Zayn menjelaskan sementara Niall masih sibuk makan kudapannya, memasukkan kacang ke dalam mulutnya, dia memang selalu menjadi orang yang menghabiskan semua masakan ibunya.

            “Kau yakin? Baba bisa meminta izin dari kantor kalau memang kau butuh bantuan baba,”

Sang ayah meminta penegasan lagi, Zayn menjawab “tidak” dengan anggukan mantap lalu meminta penguatan Niall yang membalasnya dengan anggukan  juga.

            “Hentikan makanmu,kau bisa makin gemuk,”

Ibunya memperingatkan, Niall mengerut.

            “Wajahmu akan dipenuhi jerawat, itu kacang bukan kurma,”

Sang ayah menambahi dan Niall langsung menurut. Dia tidak pernah berani melawan ayahnya dan  dia selalu tidak pernah mematuhi perintah ibunya yang menyangkut hal-hal remeh, dia memilih ditegur ayahnya, setidaknya dari sana dia merasa dianggap karena ayahnya selalu mengucapkan kata “kau” setiap kali Zayn menggunakan kata “Kami”.

***

            Niall keluar kamarnya dengan mengendap-endap, menutup pintu kamarnya secara perlahan dan berjalan seperti pencuri sambil mendekap gulingnya, melirik kanan-kiri, memasang telinga baik-baik, menengok kelantai bawah, tempat ayah dan ibunya sedang menonton sebuah opera di televisi, dia tidak mau mencuri perhatian ibu apalagi ayahnya. Langkah Niall terhenti pada sebuah pintu, dia meraih knop dan memutarnya,mengayunkan pintu ke dalam, membukanya dan masuk secara perlahan sambil menghela napas lega.

BEWhere stories live. Discover now