Duduk di atas sebongkah batu hitam di tepi sebuah danau, Louis melemparkan mata pancingnya ke dalam air danau yang tenang, sementara Rose melompat kegirangan saat dia berhasil mendapatkan seekor ikan berukuran besar, Niall yang membantu gadis itu melepas ikan dan memasukkannya ke dalam ember berisi air. Ikan yang didapat Rose adalah ikan pertama mereka, warnanya kuning kemerah-merahan. Rose menepuk bahu Niall, berbicara dengan bahasa isyarat kepada si pirang itu, dia lupa bahwa Niall tidak juga paham dengan bahasa itu.
“Louis, Rose bicara apa?” Tanya Niall sambil memasang umpan berikutnya, dia jongkok di depan ember sementara Rose berdiri di sampingnya, mengulangi kalimatnya saat Louis telah memperhatikannya.
“Dia tanya itu ikan apa,” Jawab Louis, dia meletakkan pancingnya dengan menancapkannya pada sebuah lubang alami yang terbentuk di batu, pas dengan gagang pancingnya.
“Sayangnya aku bukan tukang ikan,” Niall melucu, Louis tergelak sambil mengucapkannya dalam bahasa isyarat kepada adiknya, Rose ikut tertawa, tawanya yang tertahan dan terdengar lucu namun membuat Niall miris setiap kali mendengarnya.
Ponsel dalam saku jaket Louis berdering, dia berhenti tertawa dan merogoh benda pipih itu dari sakunya, menautkan alis saat mendapati nama Zayn di layar ponselnya.
“Ya, halo” Louis menyapa lalu melirik Niall sekilas saat Zayn di ujung sana berbicara kepadanya, “Kami memancing,… dia tidak mengatakan apapun,… oke aku akan menyuruhnya, tak masalah,” sambungan telepon berakhir, Louis memasukkan ponselnya ke dalam saku.
“Niall, Zayn menyuruhmu pulang,”
Mata Niall berkilat saat mendengar kata-kata Louis, dengusannya terdengar jelas oleh telinga Louis yang kembali meraih pancingnya.
“Nanti aku akan pulang,”
Balas Niall enteng, dia melemparkan mata pancing Rose lalu menyerahkannya kepada gadis yang berdiri di sampingnya.
“Aku tidak mau dijuluki bos yang kejam. Zayn memberitahuku alasan kenapa kau harus pulang,”
Niall langsung menajamkan tatapannya kepada Louis, ada amarah dan kebencian di sorot manik mata birunya.
***
“Kubilang aku tidak lapar!”
Tegas Niall dengan nada menggertak. Ibu terkejut begitu pula dengan Zayn. Ayah menarik diri dari kursi dan menatap penuh amarah saat Niall beranjak dari kursi dengan kasar hingga kursinya terguling ke lantai.
“Aku menyekolahkanmu bukan untuk membentak!” Geram ayah, tangannya mencengkram tepian meja, dia berusaha menahan amarah teringat perkataan Zayn untuk berhenti memukul Niall.
“Aku bahkan tahu bagaimana cara memukul yang baik!” Balas Niall lantas beranjak dari ruangan itu, kakinya beradu dengan lantai, langkah menghentak menuju kamarnya di lantai dua. Dia membiarkan ayahnya yang mengumpat di belakang, berseru mengeluarkan kutukan yang sudah terbiasa masuk dan keluar telinganya.
Zayn melirik ruang kosong di sisi kanan ranjangnya, biasanya ada Niall disana namun sekarang dia bahkan bisa berguling-guling sesuka hati. Kepalanya mengeras saat memikirkan bagaiamana cara berpikir Niall, saudara kembarnya itu belum pernah semarah ini kepadanya. Tidak mau tidur sekamar dengannya adalah sebuah rekor bagi Niall.
“Ada apa dengannya?”
Gumam Zayn, dia memiringkan tubuhnya lalu memejamkan matanya merasakan aroma tubuh Niall yang bahkan telah tercecer di ranjang kamarnya. Dia benci bau itu tapi sekarang dia menyadari betapa dia lebih membenci mencium baunya tanpa melihat orangnya.