Zayn membiarkan Niall berlari pergi meninggalkannya dan Kareem. Si rambut pirang itu memaksa untuk berjalan-jalan sendiri berkeliling kota. Awalnya Kareem memilih untuk ikut pergi bersama Niall tapi Niall menolak dan menyuruhnya supaya pergi bersama Zayn saja, membantu saudara kembarnya itu untuk membelanjakan daftar belanjaan yang diberikan ibunya tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah.
“Ayo Kareem,” Zayn mengajak gadis itu untuk menghampiri dua buah sepeda yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Niall sengaja meninggalkan sepeda miliknya supaya bisa dipakai oleh Kareem, mengingat Zayn yang tak mau membocengkan seorang wanita selain ibunya sendiri. Kau terlalu taat, begitu kata Niall jika dia diminta untuk mengomentari sikap Zayn.
Siang itu kota London bermandikan sinar matahari yang terik tapi tetap saja udara terasa dingin. Zayn dan Kareem mengayuh sepeda mereka secara perlahan, menikmati London yang bersih dan teratur, daun-daun bergemerisik di atas kepala setiap kali angin berhembus pelan membawa aroma pakis yang kental dan menyeruak di hidung.
“Harry dan Liam memperhatikanmu dan Niall dengan cara yang tidak menyenangkan,” Kareem mengawali pembicaraan keduanya, sebuah topik yang tidak disukai Zayn karena masih saja berhubungan dengan Niall, selalu.
“Ya, hampir semua orang yang kukatakan kepada mereka bahwa kami kembar akan selalu melihat kami dengan cara seperti itu,” Zayn mengiyakan kalimat Kareem, “Siapa yang akan percaya bahwa kami kembar jika mereka tidak melihat sendiri kami keluar dari rahim yang sama, hn?” Sejenak Zayn mengarahkan fokus matanya pada Kareem, tepat dengan saat Kareem melakukan hal yang sama. Mereka beradu pandang dalam beberapa detik lalu Zayn mengalihkan pandangan matanya kembali ke jalan di depan. Kareem tersenyum tipis melihatnya, dia tahu Zayn menyukainya karena memang Zayn telah mengungkapkannya beberapa kali tapi apa pedulinya jika Zayn hanya sekedar mengungkapkannya tanpa membuat keputusan lain? Memintanya untuk menjadi kekasihnya, mungkin.
“Lupakan cerita klasik itu, sebaiknya kau berpikir setelah kita berbelanja kira-kira kau mau pergi kemana,”
“Ouw,” Kareem berlagak tersipu, Zayn tersenyum menanggapinya, “Kau mengajakku berkencan?”
Zayn kembali tersenyum, dia menggelengkan kepalanya. Satu hal yang selalu dia lakukan setiap kali Kareem bertingkah manja dan seperti anak kecil jika berada di dekatnya sedangkan jika bersama Niall dia akan berlagak sebagai pahlawan dari padang pasir.
“Aku tahu tempat yang cukup menyenangkan di daerah sini, apa kau punya acara lain?”
“Tidak,” jawab Kareem cepat, “Ehn, sebenarnya aku harus merapikan apartemenku sih tapi itu bisa nantilah,”
“Dasar,” Gumam Zayn meledek, yang langsung disahut Kareem dengan pernyataan : “Aku mendengarnya Zayn,”
Zayn bergegas, dia mengayuh sepedanya lebih cepat, mengajak Kareem untuk beradu cepat hingga minimarket yang tinggal sekitar seratus meter di depan mereka.
Niall berdiri di belakang si gadis berambut coklat kacang yang diikat ekor kuda itu. Memperhatikan gadis yang menurutnya berwajah malaikat yang sedang merangkai bunga tulip putih di sebuah meja di sudut ruangan. Sudah lebih dari lima belas menit dia seperti itu dan anehnya dia belum merasa bosan.
Si gadis beranjak dari kursinya setelah rangkaian bunga itu selesai, dia berjalan menuju sebuah meja di sisi ruangan yang segaris dengan pintu, meletakkan rangkaian bunga itu di atas meja bersama rangkaian bunga yang lain. Gadis itu menggeleng pelan dan menghela napas panjang saat mendapati Niall yang kembali berdiri di sampingnya, tersenyum dengan cara yang menurutnya aneh. Gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri tapi tak menemukan apa yang ia butuhkan di dekatnya.