Niall segera menyembunyikan ponsel yang baru saja dia gunakan untuk mengambil foto gadis cantik di toko bunga yang dia ketahui bernama Flower yang sedang merapikan tatanan bunga tulip di sudut ruangan kaca saat gadis bermata hijau itu melihatnya dan berjalan menuju kursi dimana Niall duduk di depan meja. Niall memasang senyuman termanisnya saat gadis itu berdiri di hadapannya dan memperhatikannya. Dalam hati Niall mulai berpikir bahwa gadis itu mungkin saja telah jatuh cinta kepadanya. Si gadis meraih sebuah kertas di atas meja itu dan juga merebut pulpen yang berada di tangan Niall, menuliskan sesuatu disana. Niall memperhatikan huruf per huruf yang ditulis dengan rapi oleh gadis itu. Selesai, gadis itu mengetukkan ujung penanya , memintat Niall untuk membacanya. Aku tidak memerlukan bantuan, sebaiknya kau pulang. Aku akan bilang ke Louis Niall menggeleng, dia meraih pena dan kertas itu, menulis disana dan memberikannya kepada flower. Tidak, aku sudah berjanji untuk membantu disini selama dua minggu. Aku bisa membantumu kok Flower mendengus, dia terlihat jengkel lalu membalas kata-kata Niall. Kau salah menghitung uang kembalian, kau salah mengambil bunga, kau merusak selusin bunga matahari. Wajah Niall menghangat setelah membacanya, dia malu tapi tetap memberanikan diri untuk melihat Flower yang berdiri dengan kedua lengan terlipar di depan dada seperti majikan yang memecat karyawannya. Niall meringis, dia ingin tersenyum tetapi justru terlihat aneh. Dia kembali menulis. Aku akan belajar, akan kuganti kerugian hari ini. Maafkan aku ya Flower cantik. Niall memperhatikan Flower yang memasang wajah bingung kepada Niall seusai membaca tulisannya. Gadis itu menelengkan kepalanya, memperhatikan wajah bodoh Niall dengan penuh tanya. Sejenak mereka bertahan dengan posisi seperti itu sampai akhirnya Flower kembali meraih kertas dan penanya, menulis disana sementara Niall berharap-harap cemas. Kertas percakapan tersodor di depan mata Niall yang terbelalak setelah membaca kata-kata dari gadis cantik si peri bunga di hadapannya. Dia tidak mengerti bagaimana mungkin dia bisa melakukan sebuah kesalahan fatal. Nama gadis itu bukan Flower! Siapa yang kau panggil Flower? Tertulis dengan jelas di kertas percakapan dan sukses menampar wajah Niall yang langsung memerah. *** Bunga mawar merah layu dan mulai terlepas kelopak-kelopaknya tergeletak di dalam laci kayu. Niall memperhatikan sekuntum bunga itu dengan raut tak menentu, dia bertanya-tanya dan dibuat kebingungan sendiri oleh pertanyaan yang berputa-putar di kepalanya. Masih berdiri di depan meja berlaci di samping ranjangnya itu, Niall menggaruk tengkuknya dan tetap fokus tidak menyadari kehadiran Zayn yang bahkan sudah berdiri di sampingnya sejak beberapa detik yang lalu. Zayn mengamati wajah Niall dan sekuntum mawar layu di dalam laci itu secara bergantian. Awalnya dia memilih untuk diam dan menunggu tapi sepertinya Niall telah berubah menjadi bocah idiot karena mawar itu. Sebuah inisiatif muncul di benak Zayn, dia tersenyum miring dan mengulurkan tangannya ke dalam laci, berniat untuk mengambil bunga itu namun Niall segera menampis tangannya, Zayn mengaduh. “Jangan coba-coba menyentuhnya,” Niall memperingatkan, dia menatap Zayn garang dan menunjuk wajah Zayn dengan begitu dekat. “Hei, kau ini kenapa?” Zayn melempar tatapan protes, Niall kembali mengarahkan pandangan matanya pada bunga mawar. “Tadi kau pergi kemana sampai menjadi gila seperti ini?” “Aku tidak gila!” Kini giliran Niall yang memprotes, dia menatap Zayn untuk ke seNiall kalinya, “Aku hanya tidak tahu siapa nama gadis itu, itu saja. Kau dengar aku?” Niall mencondongkan tubuhnya hingga dia begitu dekat dengan Zayn yang tersentak kaget, “Kau tahu Zayn? Aku bertanya kepadanya siapa namanya dan dia memberiku bunga itu!” Niall menunjuk lacinya, berbicara dengan menggebu-gebu, “Bukankah itu berarti namanya Flower dan dia menyukaiku? Bunga mawar itu tanda cinta, kakaknya sendiri memberitahuku, tapi kenapa dia bilang namanya bukan Flower dan dia justru mengusirku? Sekarang katakan padaku apa dia atau dunia ini yang gila?” “Kau yang gila!” Jawab Zayn tegas, dia berbicara tepat di depan wajah Niall yang tak terima karena masih saja diledek sebagai orang yang tidak waras oleh saudara kembarnya sendiri. “Pertama, kau memang berbicara seperti orang gila, kedua sekarang kau pikir orang bodoh mana yang memberi nama anaknya Flower, ya menurutku itu terdengar aneh. Ketiga, sebaiknya kau ceritakan sebenarnya apa yang kau lakukan beberapa hari ini karena yang kutahu sepertinya kau sedang jatuh cinta,” Zayn melipat lengannya di dada, Niall menghela napas panjang sebelum menutup laci mejanya lalu menghempaskan tubuh payahnya ke ranjang. Dia menerawang ke langit-langit kamarnya untuk beberapa waktu kemudian menatap Zayn yang masih memperhatikannya, menuntut jawaban. “Ya, mungkin aku memang sudah gila,” Datar Niall berbicara, “Zayn,jangan ceritakan ini kepada siapapun, kau harus berjanji,” Zayn mengangguk, sudah menjadi kebiasaan Niall, dia selalu menuntut orang lain untuk bersumpah. “Ehn, aku bertemu dengan seorang gadis berwajah peri bunga,” Zayn menahan tawa saat Niall berucap peri bunga, saudaranya itu benar-benar sudah menjadi gila. “Dia adiknya Louis yang kuceritakan tadi siang kepadamu, dia sangat cantik dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa sangat tertarik kepadanya sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Kau ingat gadis yang diselamatkan Liam saat kita berjalan-jalan?” Zayn berpikir,dia mengingat-ingat. “Dia orangnya dan kupikir namanya Flower tapi ternyata aku salah. Aku ingin tahu namanya,” Niall menyilangkan kedua lengannya di bawah kepala. Zayn masih berpikir,masih mengingat gadis mana yang dimaksud Niall.Dia mengingat momen dimana mereka berjalan-jalan bersama-sama dan Liam yang menyelamatkan gadis bisu dan tuli. Dia ingat! Zayn memperhatikan Niall yang hampir mati frustasi karena salah nama dan tidak tahu nama sebenarnya gadis yang diakui Zayn sangat cantik dan mempesona. Rambut pirang dan mata biru gadis itu sangat indah. “Mungkin namanya Rose,” Zayn berpendapat, Niall bermalas-malasan menanggapinya. “Rose? Bagaimana kau bisa bepikir kalau namanya itu Rose?” Niall menggerak-gerakkan tangannya memberikan penegasan pada sanggahannya, “Zayn! Harus berapa kali kukatakan kalau dia memberiku bunga saat kutanya siapa namanya. Bunga Zayn! Bunga!” “Dan harus berapa lama lagi kau sadar kalau itu bunga mawar! Itu Rose! Dasar idiot!” Zayn menunjuk laci meja Niall yang tertutup rapat kemudian berjalan keluar dari kamar saudara kembarnya itu karena ayah terus memanggilnya dari lantai bawah. “Kau mau ikut main golf tidak?” Seru Zayn pada Niall yang masih berpikir, memahami maksud kata-kata Zayn tentang nama Rose. Niall menepuk keningnya, seharusnya sejak dulu dia bertanya kepada Zayn, memenuhi janjinya kepada Zayn sejak mereka duduk di bangku SMP dulu. “Niall, kau harus berjanji padaku kalau kau jatuh cinta, kau harus mengenalkan gadis itu kepadaku. Aku tidak mau kau dibodohi.” *** Zayn sibuk memasukkan peralatan golf-nya di ruang tengah sementara sang ayah sedang memanaskan mesin mobil di halaman depan, terdengar deru mesin dari luar sana. Dia menyusun beberapa tongkat golf pada tempat yang tersedia di tas,mengatur sesuai urutan kemudian memasukkan beberapa bola golf ke tas warna hitam itu. “Zayn, apa baba mengizinkanku ikut juga?” Niall turun dari tangga, dia sudah berpakaian rapi, menggunakan celana olahraga hitam, kaos berkerah putih polos dan topi hitam. “Asal kau cepat, baba tidak akan menjadikanmu bola disana,” Sambung Zayn, dia melirik Niall sejenak kemudian merapikan peralatan golf milik ayahnya. Niall tersenyum, dia bergegas menghampiri sebuah lemari kayu di seberang ruangan, membukanya dan mengambil tiga tongkat golf yang tersisa disana, beberapa tee dari sebuah kotak kemudian meletakkannya di atas meja yang sama dengan Zayn. Niall berderap lagi menuju lemari itu, hendak mengambil tas peralatan yang terletak di rak paling atas, dia mengulurkan lengan kanannya ke atas tapi tanpa dia sangka-sangka bahu dan punggungnya berdenyut, diserang nyeri luar biasa yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Niall mengernyit,mengerang pelan dan perlahan menyentuh bahu kanannya dengan tangan kiri. “Kau kenapa?” Zayn menoleh ke belakang, memperhatikan Niall yang masih tertunduk, sembari memegangi bahunya, menahan sakit. “Niall?” Zayn menelisik, dia melangkah menghampiri Niall yang sama sekali tak menyahut. Dia berdiri di samping Niall, memperhatikan Niall yang kesakitan di dekatnya. “Niall,kau sakit?” Niall menggeleng pelan, dia melirik Zayn yang memasang wajah cemas,memegangi lengannya. “Aku tidak bisa menggerakkan tangan kananku,” Aku Niall pendek, membuat kecemasan Zayn semakin menjadi-jadi , dia turut memegangi bahu kanan Niall yang sejak tadi diremas Niall begitu kuat. “Mungkin tanganku kram,” “Aku akan panggil Baba supaya kita bisa ke rumah sakit,” “Tidak, aku akan meminta Ibu untuk mengompresku saja sepulang dari minimarket nanti, kau pergi saja dengan baba.” “Tapi Niall,” Niall menggeleng lagi, dia tersenyum kepada Zayn kemudian melangkah meninggalkan saudaranya itu, berjalan perlahan menuju kamarnya di lantai dua. Sebuah seruan datang dari halaman depan, suara ayah yang meminta Zayn untuk bergegas. Zayn membalas sahutan itu kemudian menuliskan sebuah pesan di ponselnya, mengirimnya kepada ibu.