Zayn terus memperhatikan bayangan Niall dari cermin besar di hadapannya. Ada pertanyaan menggelitik di benak Zayn tentang Niall. Ada apa dengan anak itu? Dia baru saja dipukul ayah sampai dia kesulitan berjalan dan tidak bisa menempelkan punggungnya di ranjang tapi masih saja bisa tersenyum dengan ekspresi macam psikopat yang baru saja mendapatkan mangsa padahal jelas-jelas darah kering masih tersisa di sudut bibirnya. Zayn menyisir rambutnya sambil terus memperhatikan bayangan Niall yang duduk di atas kasur, si pirang itu terus memandang setangkai bunga mawar merah di genggaman tangan kanannya, sesekali juga menciumnya.
“Hai! Kau mencuri bunga itu dimana?”
Tanya Zayn, dia beranjak dari cermin besar di kamar Niall dan melangkah menghampiri Niall, berdiri di sampingnya. Niall tak menggubris, si pirang itu hanya melirik Zayn sesaat lalu kembali tersenyum pada bunga mawar di tangannya seperti orang tak waras.
“Namanya flower (Bunga),” Gumam Niall, dia mencium bunga itu untuk ke seNiall kalinya, Zayn mengernyit.
“Aku harus bilang pada ibu bahwa kau menjadi gila karena dipukul baba,” Zayn meledeknya tepat saat pintu kamar terayun ke dalam, terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan baskom, handuk kecil dan tas obat di tangannya.
“Siapa yang gila?” Tanya wanita itu, dia melangkahkan kakinya dan duduk di samping Niall, dia memperhatikan Zayn yang mulai memainkan ponselnya.
“Niall, dia bilang namanya flower, semua orang juga tahu kalau benda itu flower (bunga),” Zayn melirik bunga mawar merah di tangan Niall, begitu pula dengan ibunya.
“Bunga mawar lagi Niall?” Tanya wanita itu bersamaan dengan saat Niall meletakkan bunga mawar itu di atas meja, dia menatap Zayn, memberi peringatan supaya saudaranya itu tidak mengusik bunganya.
“Ya, dari toko yang sama, ehn tapi dari orang yang…. berbeda,” Jawab Niall terputus-putus karena di kesulitan untuk membuka kaosnya. Zayn mendengus lalu membantu Niall membuka kaos itu. Zayn melempar kaos ungu dengan bercak darah itu di lantai begitu saja, tak mau melihatnya.
Sang ibu mengamati punggung putranya yang penuh dengan luka baru padahal bekas luka sebelumnya, belum juga hilang dari kulit Niall yang menipis. Malam itu untuk ke seNiall kalinya ayah kembali memukul Niall dengan gagang sapu.
“Tahan sebentar ya,” Ujarnya sebelum dia membersihkan darah dari luka itu dengan kain hangat. Niall merintih, Zayn langsung beranjak dari pijakannya dia memilih untuk pergi menuju balkon kamar sambil membawa ponselnya.
Meniupkan asap rokok dari bibirnya, Zayn membuat bulatan-bulatan asap rokok yang dia biarkan terbang melayang di udara malam yang dingin. Matanya menerawang jauh ke langit lepas yang dihiasi bulan purnama menggantung layaknya tempayan keperakkan, cahaya bulan yang lembut tak begitu terasa dari Kota London yang gemerlap. Lagu milik The Beatles terputar cukup keras dari ponsel yang dibiarkan tergeletak di samping kakinya. Zayn menikmati waktunya sendiri, duduk di lantai balkon kamarnya sementara saudara kembarnya sedang mengerang kesakitan karena luka-lukanya yang sedang diobati oleh ibu. Zayn membayangkan dirinya melayang jauh bersama asap rokok itu, terbang bebas kemudian hilang tanpa harus mengetahui apa pun. Dia ingin menghilang.
***
“Kau yakin mau berangkat kuliah?”
Tanya Zayn, dia membantu Niall memakai lengan jaketnya.
“Aku malas di rumah. Baba hari ini akan mengerjakan tugas-tugasnya di rumah dan aku tidak mau berada satu ruangan dengannya hanya berdua sementara ibu pergi ke kedutaan,” Jelas Niall, Zayn mengangguk mengerti.