“Kau mengikatku dengan kuat”
Kareem sepertinya masih belum bosan bermain-main denganku. Dia benar-benar sulit untuk diatur. Sepertinya kebahagian terbesarnya adalah saat dimana dia berhasil membuatku malu di hadapan istriku sendiri, siapa lagi kalau bukan dia.
“Tak satupun dalam diriku yang luput darimu. Maaf aku menyayangimu seperti orang bodoh,”
“Kareem hentikan itu!” Seruku dari dalam kamar mandi, mengeringkan badan dengan handuk hangat sementara Kareem di balik pintu itu nampaknya belum bosan mengulang-ngulang puisi yang pernah kuberikan kepadanya beberapa bulan yang lalu. Tunggu! Bukan kuberikan tapi kubuat dan si idiot Niall yang memberikannya ke Kareem.
“Biarlah kau tak membalas perasaan ini. Karena memang aku tidak memperjuangkanmu,”
Membuka pintu kamar mandi setelah memakai celana hangat dan kaos, kulihat kareem sedang duduk di depan cermin, merapikan rambut panjangnya. Dia memperhatikanku lewat cermin di depan wajahnya, tersenyum miring saat aku mengamatinya.
Kareem membalikkan badannya setelah rambut panjangnya dia ikat ke belakang, mata tajamnya memancarkan binar yang sudah sangat kuhafal, dia masih mau menggodaku.
“Maaf aku takut kehilanganmu seperti orang bodoh” Ujar kareem lagi, kali ini dia mengucapkannya dengan nada layaknya pujangga, bahkan dibumbui dengan ekspresi yang menggelikan.
“kareem kubilang hentikan itu,” Geramku kesal, kuletakkan handuk di gantungan di depan pintu kamar kemudian menghampiri Kareem yang terkikik geli seraya meraih jilbab hijaunya dari atas ranjang.
“Kenapa? Bukankah kau yang membuatnya? Kau tidak perlu malu Zayn, puisimu bagus,” dia mengakhiri kalimat pujian bernada meledek itu dengan decakan lidah. Dia makin menjengkelkan.
“Aku tahu puisiku bagus sampai-sampai kau bisa hafal di luar kepala padahal aku saja tidak hafal. Tapi, Kalau kau yang membacanya jadi tidak bagus,” balasku, mengerlingkan mata, Kareem memberenggut lalu berdiri, menyampirkan jilbabnya di bahu kemudian menggunakan kedua lengannya untuk berkacak pinggang.
“Kau bilang apa?” Dia mendongakkan wajahnya, matanya beradu dengan mataku, melihat dia seperti ini membuatku ingin tertawa, aku jadi ingat beberapa drama yang sering kutonton ketika berada di Pakistan.
“Kau membuat efek jelek di puisiku,” Ulangku dengan lebih jelas. Kareem berdecak kesal, saat sedang pura-pura marah atau benar-benar marah ekspresi wajah Kareem selalu saja terlihat tegas.
“Zayn,..” Dia menggeram, lalu mencubit sisi perutku membuatku mengaduh kesakitan.
“Kau yang memulai Kareem. Kau terus-terusan bermain dengan puisi itu selama tiga hari dan ini tidak normal,”
Ujarku, diakhiri dengan dengusan napas, tanda bahwa aku sudah benar-benar jengkel dengan permainan ini. aku tidak tahu kenapa Kareem bisa menjadi seperti Niall yang tidak mudah menyerah untuk menggangguku.
Bertahan dalam beberapa detik di posisi kami. Air muka Kareem melunak, dia tidak terlihat berpura-pura marah lagi, mungkin karena dia menyadari bahwa aku sekarang sedang benar-benar marah.
“Maaf,” Dia berbicara nyaris seperti berbisik kemudian menurunkan lengannya dari pinggang dan berjalan menuju ranjang kami, berbaring disana. baiklah, aku menyesal berbicara seperti tadi.
“Kareem,” Lembut kupanggil dia seraya melangkah menuju sisi ranjang yang dia punggung. Duduk disana, diam dan menunggu Sudah tiga bulan kami menikah tapi terkadang aku masih merasa aneh setiap kali mendapati Kareemlah yang berbaring di dekatku, bukan Niall yang selalu mengganggu tidurku sejak kami berada di kandungan ibu, jika aku merasa terganggu waktu itu.