Niall berjalan di antara kerumunan manusia yang memenuhi sebuah jalan di sudut kota, tak terlalu jauh dari sekolahnya. Si pirang itu, mengayunkan kakinya sambil melihat-lihat suasana London yang begitu menarik menurutnya, memperhatikan setiap sudut tempat, toko-toko yang berjajar rapi di pinggir jalan membuat matanya terasa dimanjakan oleh warna-warna ceria. Mulai dari butik, restoran, toko mainan, aksesoris, toko kue hingga galeri lukisan yang memikat. Niall menghentikan langkahnya saat melihat kerumunan orang di depan sebuah kios. Ada pengamen yang memainkan harmonika disana dan itu membuat Niall tertarik juga untuk menonton barang sebentar saja. Niall hafal benar lagu apa yang dimainkan oleh pria paruh baya bertopi pantai itu, lagu yang selalu masuk playlist-nya, heart stereo. Lagu itu selesai dan diakhiri dengan tepuk tangan riuh para penontonnya yang langsung memberikan beberapa sen uang mereka. Niall menjatuhkan dua poundsterling di sapu tangan pria itu lalu kembali melanjutkan perjalanannya.
Niall memasukkan telapak tangannya ke dalam saku jaketnya, menahan dinginnya udara Inggris, tubuhnya masih belum bisa beradapatasi dengan baik. Mata birunya memperhatikan toko-toko dan orang-orang yang berjalan di jalan itu bersamanya. Seorang gadis yang berada di depan toko bunga menarik perhatian Niall. Gadis berkaos lengan panjang putih dan memakai celana jeans skiny dengan rambut coklat kacang yang diikat ekor kuda itu nampak kesulitan untuk melihat mengambil sebuah pot yang terletak di rak teratas dari rak yang berada di depan toko bunga. Niall bergegas, dia mempercepat langkahnya dan langsung menghampiri gadis yang masih berusaha menggapai-gapai meskipun jemari-jemarinya sudah berhasil menyentuh pot bunga kaktus itu.
“Ini,” Niall meraih pot bunga itu tanpa basa-basi dan langsung menyodorkan pot mungil dengan bunga mungil itu kepada si gadis cantik bermata biru di hadapannya yang menatapnya penuh tanya. Niall tersenyum dan kembali menyodorkan bunga itu lantaran si gadis tak kunjung menerimanya.
“Kenapa?” Niall menelengkan kepalanya, si gadis tak menjawab dan justru melangkah masuk ke dalam toko, Niall terdiam kebingungan sambil memperhatikan bunga di tangan kanannya itu. Tak lama kemudian si gadis cantik dan berwajah tulus itu keluar dengan membawa sebuah kertas dan memberikannya kepada Niall. Niall menerimanya dengan penuh tanya.
Maaf. Aku tahu kau ingin membantuku tapi aku bukan ingin mengambilnya, aku baru saja meletakkannya di rak itu.
Niall membaca rangkaian kata-kata itu. Wajah Niall memerah saat dia menegakkan wajahnya dan mendapati gadis di hadapannya tersenyum, Niall menebak-nebak apakah itu senyuman mengejek atau marah.
“Maafkan aku, aku tidak tahu,” Ujar Niall malu-malu dengan penuh sesal. Si gadis menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan dada lalu menunjuk kertas di tangan Niall setelah menyerahkan pulpennya. Niall sedikit kebingungan tapi dia memahami maksud gadis itu juga pada akhirnya. Dalam beberapa detik Niall masih kikuk dan masih fokus pada gadis cantik yang baru saja dia ketahui tunarungu-wicara itu tapi akhirnya dia menuliskan kalimat yang baru saja dia ucapkan di kertas itu dan menyerahkannya kepada si gadis. Gadis itu membacanya, menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Niall.
Tak masalah.
Tulis si gadis di kertas itu, saat Niall memperhatikan si gadis, dia kembali mendapatkan senyuman indah kali ini ditambah dengan bahasa isyarat. Niall menelengkan kepalanya, tak mengerti.
Seorang pria muda yang dari wajahnya Niall bisa menebak bahwa cowok itu lebih tua darinya beberapa tahun, keluar dari toko bunga dengan sebuah tas ransel di punggungya. Dia tersenyum pada Niall sejenak lalu berbicara dengan bahasa isyarat dengan si gadis. Entah apa yang mereka bicarakan, Niall tak tahu sama sekali tapi dia tahu bahwa dari pembicaraan singkat itu, si cowok menyuruh gadis cantik itu untuk masuk ke dalam. Gadis itu menurut, dan memberikan senyuman dan kembali berbicara dengan bahasa isyarat yang sama kepada Niall.