Kareem dikejutkan dengan suara letusan, dia baru saja terpejam dan terpaksa membuka mata lagi dalam kegelapan malam yang menenangkan. Gadis itu lantas menarik selimutnya hingga dada saat keheningan melingkupinya. Beranjak tidur dengan posisi miring tapi letusan berikutnya terdengar lebih keras disusul letusan-letusan lain, bersahut-sahutan dengan diiringi suara berdesing ke udara.
Kareem mengeluh,dia menghela napas panjang seraya beranjak turun dari ranjang dengan bermalas-malasan,“Ini masih bulan Oktober,” gumamnya sambil berjalan menuju jendela kamar, meraba dalam kegelapan dengan memanfaatkan insting dan ingatannya tentang keadaan kamar itu.
Langit berhiaskan cahaya kemilau, warna-warni meluncur dari bumi dengan cepat. Suara letusan lalu bunga api menyala-nyala memberikan nuansa yang tak bisa Kareem pungkiri keindahannya. Sebuah pesta kembang api. Gadis itu tersenyum, menikmati kembang api-kembang api yang masih belum habis meskipun lima menit telah berlalu.
“Sampai kapan kau hanya akan melihat kembang apinya dan tidak peduli pada yang membuatnya?”
Seruan itu datang dari bawah dan mengejutkan Kareem, dia sudah cukup hafal dengan si pemilik suara. Kareem menurunkan pandangannya ke bawah, mencari-cari di balik jajaran pohon yang menutup pandangannya ke jalanan, sumber suara itu.
“Kareem apa kau bisa turun dan membawakanku secangkir kopi? Malam ini dingin sekali!”
Kareem masih mencari-cari saat kalimat berikutnya kembali terdengar, dia membuka sisi jendelanya yang masih tertutup, menjulurkan kepala dan mempertajam penglihatannya. Matanya membulat, telinganya ternyata tidak salah. Di sana, di bawah pohon oak yang bergoyang-goyang ditiup angin malam, berdiri si keriting Harry. Cahaya kembang api di langit malam dan lampu jalanan yang redup terbiaskan di wajahnya yang tersenyum ceria. Apa dia sudah gila?
Kareem menyerahkan secangkir kopi panas buatannya kepada Harry yang langsung meneguknya dengan penuh rasa syukur, udara malam begitu menusuk dan panas kopi itu begitu cepat mendingin. Kareem memakai sarung tangannya sambil mengamati Harry yang meniup-niup kopinya. Pesta kembang api telah usai beberapa menit yang lalu, Kareem menyapukan pandangannya ke jalanan, sepi, hanya mereka berdua disana, di pinggir jalan berharap malam yang dingin tak membekukan aliran darahnya.
“Kau itu sedang taruhan dengan siapa?”
Kareem membuka mulut saat Harry berhenti menyesap kopinya, dia melihat si keriting itu penuh selidik tapi si objek justru memberikan raut kebingungan. Kareem menghela napas panjang,dan kembali berbicara, “Kau dibayar berapa untuk melakukan kegilaan ini? Sekarang pukul dua belas malam dan kau membuat kembang api di rumahku hanya untuk meminta kopi, ck ck ck,”
“Sebenarnya bukan hanya kembang api, aku punya yang lain. Ikut aku,”
Mendadak Harry meraih tangan Kareem, menariknya melewati jalan beraspal. Tertatih Kareem mengikuti langkah cepat Harry, mereka berjalan terus, Kareem ingin memprotes namun melihat Harry yang penuh semangat, membuat dia mengurungkan niatnya. Lima menit berlalu dan tanah berumput basah membenamkan sepatu Kareem serta Harry, mereka memasuki sebuah taman di pinggir kota.
Kareem menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya lalu menjejalkannya ke dalam saku mantel hangat yang melekat di tubuhnya. Dia berdiri sendiri di tengah-tengah taman, ditemani gemericik air mancur. Harry meninggalkannya sebentar untuk mengambil sesuatu yang dia sebut kejutan manis. Seekor kelelawar berkelebat di balik dedaunan, cahaya lampu taman yang redup tak mampu menandingi cahaya keperakkan sang dewi bulan yang menggantung di langit terang. Bulan purnama di pertengahan bulan Oktober, mungkin bulan purnama terakhir untuk menyambut musim dingin.