part 21

153 5 2
                                    

Zayn berbaring di atas ranjangnya, masih terjaga meskipun malam telah larut dan cicak berceracak menjadi satu-satunya pemecah kebisuan di malam yang dingin. Dia beralih dari bintang-bintang yang bergerak perlahan di langit gelap nan terang pada langit-langit kamarnya yang muram disinari lampu tidur. Seluruh badannya pegal, otot-ototnya kaku setelah seharian dia menemani Niall. 

Zayn terpaksa meninggalkan rapatnya dan menemui Niall. Mereka bertahan cukup lama di atas jembatan London karena Niall enggan diajak beranjak dari tempat itu, terdiam dan tak berbuat apapun termasuk berbicara. Saat matahari berada tepat di atas kepala, Zayn memaksa kembarannya itu untuk pergi ke sebuah masjid di pinggiran kota untuk sholat dhuhur, awalnya Zayn hendak langsung menyeretnya pulang namun Niall bersikukuh tak mau menginjakkan kaki ke rumah.

“Kalau kau mau pulang, pulang saja sendiri, itu rumahmu,” Keketusan yang dia terima.

Zayn mengalah, dia duduk di pojokan masjid dan membuka Al-qurannya sambil sesekali mengawasi Niall yang duduk meringkuk di sisinya, menjadi patung hidup hingga adzan ashar datang. Zayn tahu sesuatu telah terjadi antara Niall dan ayah, hal itu membuat Niall menjadi pendiam dan uring-uringan.

Saat matahari tergelincir ke sisi barat, Zayn dan Niall memutuskan untuk beranjak dari masjid, melangkah tanpa arah dengan perut kosong. Berkeliling di jalanan, berdua namun nampak bagai orang yang saling tak mengenal. Zayn kelelahan, fisik maupun mental, dia tidak tahan pada sikap Niall yang menurutnya kekanak-kanakan, keduanya berhenti di sudut jalan, takut menjai pusat perhatian, Zayn menarik saudara kembarnya itu ke tempat yang sepi dan sempit, dikelilingi bangunan berdinding bata merah.

Zayn memejamkan matanya, berniat untuk melupakan kejadian itu dan berlepas diri tapi tak ada yang bisa dia lakukan, setiap kejadian terekam jelas di memorinya.

“Baba memberiku alamat orang itu, dia bilang sebaiknya aku menemuinya. Zayn, aku sama sekali tidak ingin bertemu dengannya,” 

Kalimat terpanjang pertama dari Niall hari itu disampaikan dengan cara yang sulit dideskripsikan oleh Zayn, Niall terlihat sangat tertekan dan kacau.

“Aku tidak ingin berpisah dengan kalian. Baba berjanji tidak akan membiarkan aku pergi dari rumah, semua akan tetap sama tapi aku takut Zayn, aku takut yang terjadi sebaliknya.”

Saat air mata berbulir dan membasahi pipi Niall dan memicu sesak di dada Zayn.

“Mungkin saja orang itu akan membuat semuanya berubah,aku memang ingin mendapatkan seorang ayah seperti yang kau rasakan tapi yang aku inginkan hanya baba. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Baba bilang dia orang yang baik tapi kenapa dia bekerja di club malam, aku tidak mau bertemu dengannya Zayn. Zayn, aku tidak suka London,aku ingin kembali ke Pakistan dan jauh dari orang itu, aku tidak mau disini,”

Buram memenuhi pandangan Zayn, langit-langit remang di hadapannya menjadi sesuram hatinya. Dia berguling di ranjang dan menemukan wajah Niall yang tertidur dalam keresahan di sampingnya. Sejenak Zayn memejamkan mata dan pusing langsung menghantam kepalanya, dia membuka mata lagi, bayangan Niall berputar-putar, vertigo yang mengerikan. Ada berbagai pemikiran buruk di benak Zayn kala itu dan segala hal menjadi semakin menyakitkan baginya, dadanya sesak seketika, didesak mual. Sejurus Zayn beranjak dari ranjang, berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya ke washtafel.

***

Bunga tulip putih memenuhi meja kerja Niall dan Elf,keduanya harus menyelesaikan rangkaian tulip putih untuk hiasan pesta pernikahan dan harus dikirim nanti sore ke sebuah gereja tak jauh dari toko. Elf mengamati Niall lewat sudut matanya, kedukaan menyelimuti hati gadis cantik itu sejak pertama Niall masuk ke dalam toko, Niall terlihat beda,murung dan tidak bersemangat. Keduanya belum berbicara sama sekali meskipun waktu sudah berjalan lebih dari satu jam. 

BEWhere stories live. Discover now