Dia hadir seperti malaikat pembawa hujan, menyejukkanku dalam kegersangan hati yang kupendam sendiri. Dia si pembawa hujan dan perlahan kusadari kusadari bahwasanya hujan seringkali datang bersama pelangi. Sejak awal keakrabanku dengannya, aku tahu betul bahwa dia sosok spesial, dia spesial dan aku tahu setiap orang spesial karena sesuatu ada karena sebuah alasan. Sekarang aku pun berpikir, apa benar aku ada karena dia juga diciptakan?
Menelusuri lekukkan yang terbentuk dari ukiran bunga tepian buku bersampul hijau pemberian Liam membuatku tak jenuh berdiam diri di dalam kamar, duduk di sisi ranjang selama lebih dari lima belas menit hanya untuk merasakan setiap detailnya yang menurutku mengagumkan. Setelah cukup puas dengan lekukan-lekukan itu, aku beralih pada dua buah kertas nota belanja di sisi buku. Kertas nota yang lebih berharga dari kertas termahal manapun yang ada di dunia ini, bagiku.
***
Kemarin aku mengantar Niall ke rumah sakit untuk terapinya, terapinya yang ke empat dalam dua minggu ini dan Louis selalu mengizinkanku untuk pergi. Hari itu, untuk kali pertama aku dan Niall pergi berdua dengan menggunakan bus, biasanya kami pergi bersama bibi yang menyetir mobil tapi Niall merajuk ibunya mati-matian supaya kami bias pergi berdua saja. Sebenarnya aku tidak setuju dengan keputusan Niall, aku takut terjadi sesuatu yang buruk, aku takut tangannya kambuh tiba-tiba dan aku tidak bias melakukan apapun untuk membantunya. Terkadang, Aku ragu kalau aku benar-benar diciptakan untuknya sementara aku tidak pernah bisa melakukan apapun untuknya. Bahkan hanya untuk mengatakan aku mencintainya.
Jemari-jemari Niall terpaut erat di jemariku, dia tidak mau melepaskan tanganku sepanjang perjalanan kami menuju rumah sakit. Ini membuatku nyaman dan merasa aman karena akuu memang tidak pernah bisa merasa aman berada di keramaian,aku takut mataku melewatkan sesuatu yang berbahaya karena aku tidak bias mendengar peringatan bahayanya.
Sepanjang perjalanan kami tidak membicarakan apapun. Niall tidak menuliskan sesuatu untukku dan aku tidak menuliskan apapun untuknya. Tapi aku sangat menikmati perjalanan menuju rumah sakit ini. Sesekali kami saling memandang lalu tersenyum, wajah Niall memerah setiap kali kami secara tidak sengaja bertemu pandang. Ini aneh karena aku juga bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya padahal kami sudah sering bertemu. Hingga secara tiba-tiba Niall menyandarkan kepalanya di bahuku dan mengeratkan genggaman tangannya. Sejenak aku memperhatikannya yang membisu dan terlihat lesu. Napasnya memberat dan aku tahu bahwa dia sedang merasa tidak baik, aku takut tangannya kambuh! Tapi ketakutan akan hal itu sirna kala dia menggerakkan tangan kanannya yang sakit itu untuk meraih sebuah tabloid yang tersemat di bagian belakang kursi di depan kami. Dia membuka lembar demi lembarnya kemudian menunjuk dua kata dari sebuah artikel. Tulisan yang mengatakan bahwa : “Aku takut”
Beralih dari tulisan itu di artikel itu ke wajah Niall membuat perasaanku semakin buruk. Niall merasa takut dan aku tidak bisa melakukan apapun untuknya. Aku tahu apa yang menjadi ketakutannya, aku tahu dia tidak suka pergi ke rumah sakit, aku tahu dia takut harus pergi ke rumah sakit untuk terapi selama tiga tahun ke depan, menghabiskan berjam-jam di rumah sakit setiap dua hari dalam setiap minggu dalam hidupnya. Aku tahu dia takut berharap terlalu banyak karena terapi belum tentu membuatnya mendapatkan tangan yang normal. Aku melihat sendiri bagaimana jemari-jemari tangan kanannya sulit untuk mencengkram benda-benda kecil, aku tahu itu saat kami makan bersama di kantin rumah sakit dan dia menjatuhkan sendoknya.
Niall menutup matanya perlahan untuk kemudian sedikit menunduk, dia berusaha menyembunyikan air mata yang berbulir di pipinya tapi aku berhasil menangkapnya, buliran bening itu membiaskan sinar mentari pagi yang menembus awan tipis di penghujung musim dingin.
Dia selalu berusaha untuk membuatku percaya diri dengan caranya yang berbeda. Dia, Niallku yang selalu berhasil membuatku tersenyum dan tertawa, dua hal yang entah kapan terakhir kali kulakukan sejak aku berpisah dengan Liam. Niall yang hadir seperti matahari di dalam hidupku. Aku hanya Jasmine atau Rose yang tidak bisa berbicara dan dia adalah Niall yang mampu memahamiku dengan caranya sendiri meskipun aku tak mengatakannya. Dia mengetahui tentang diriku tapi aku bahkan tidak mengetahui setiap luka yang dia tanggung sejak dia lahir di dunia ini.