#THE LIMITS OF EGO

32.3K 2.1K 8
                                        

Rumah Sakit Bhakti Makmur

Kamar Melati III

......

Rumah Sakit Bhakti Makmur

Kamar Melati III

.....

Bhakti makmur......

Melati III.....

Apa yang Jeri katakan masih berputar dalam kepala Helen

" Rumah sakit Bakti Makmurkamar melati III. Kalau kamu benar-benar menyayangi keluargamu. Kalau kamu benar benar menyayangi saudara kembarmu."

Perkataan Jeri terasa menusuk hari Helen. Tidak ada alasan yang logis untuk hal ini. Mengapa harus rumah sakit?? Apa tidak ada tempat yang lebih baik??

Pikiran buruk terus berputar dalam benak Helen.

Tiga hari ini, kebiasaan Helen seperti hari-hari sebelumnya. Meski arus pemberitaan sudah mulai meredup, tapi tetap Helen mengurung diri di rumah inapnya. Dia malas untuk keluar. Nanti dia malah ketemu dengan orang lain yang mengenalnya lagi.

Helen masih belum dapat kemana-mana. Jaringan Koh Dirmo masih ada di mana-mana. Nanti kalau Helen tertangkap dengan motif balas dendam, semua rencana akan gagal seperti yang sudah di lakukan sebelum sebelumnya.

Pola makan Helen selama tiga hari ini semakin tidak teratur. Dia hanya makan disaat dia merasa lapar dan itu sangat jarang terjadi. Dia bahkan belum mengisi perutnya dari kemarin. Dan alasannya hanya satu. Helen belum merasa lapar.

Saat sedang asyik berkutik dengan laptopnya, suara dentingan mangkok dari pedagang mie ayam yabg lewat berbunyi. Perut Helen mendadak keroncongan.

Helen lari keluar dan memanggil tukang mie ayam.

Dua mangkuk mie ayam dia habiskan tanpa sisa. Helen tidak menyangka kalau diam-diam, sebenarnya ia merasa sangat lapar.

Dia jadi merindukan suasana peternakan Dewi. Dia juga merindukan mama tirinya. Yang sudah mau menampung Helen selama lima tahun ini. Yang sudah mau mengubah karakter Helen yang selalu bersedih menjadi Helen yang sekarang.

Helen mengambil Hpnya yang tergeletak di meja dan langsung mencari kontak Dewi. Tidak pakai lama ia langsung memencet tombol hijau untuk menelpon mama tirinya.

Pada deringan ketiga, Dewi mengangkat teleponnya.

"Halooo..." terdengar suara dari seberang sambungan.

"Halo mama, apa kabar? Helen kangen banget."

Helen langsung menjawab salam Dewi dengan perasaan gembira.

"Iya... Helen.. Suaramu keras banget sih. Mama jadi kaget kan. Kabar mama baik kok. Kamu disana bagaimana? Kasusmu udah selesai?? Mama udah nonton beritanya di televisi. Sepertinya semua berjalan dengan baik, ya?? Keadaanmu disana juga baik, kan? Makan mu teratur, kan?"

Dewi langsung memberikan berentet pertanyaan. Kalau orang lain, pasti akan merasa bahwa pertanyaaa Dewi itu seperti lazimnya ibu yang sangat cerewet pada anaknya.

Tapi, tidak bagi Helen. Perhatian kecil yang didapatkannya dari Dewi selalu membuat hari-harinya menjadi cerah.

"Helen??? Kok kamu diam saja?? Kamu baik, kan?"

"Helen baik kok. Semuanya berjalan lancar. Hanya saja Helen masih harus tinggal disini. Supaya kalau ada masalah dalam proses di pengadilan, Helen ada untuk menjadi saksi."

"Baguslah. Ohiya, kamu makannya teratur, kan?"

Soal makan, tentu saja pola makan Helen seminggu ini tidak teratur. Apalagi menu makanan Helen yang selalu kuran sehat

Berbeda jika berada di rumah Dewi. Helen akan makaan dengan teratur dan penuh gizi karena langsung dari peternakan atau perkebunan dekat situ.

"Helen??"

"Ah iya ma.... Makan Helen teratur dan sehat kok."

Lebih baik berbohong. Karena Dewi merupakan orang yang paling cerewet jika sudah menyangkut soal makan.

"Baguslah. Jaga kesehatanmu, ya!! Oh iya, mama boleh nanya sesuatu tidak?"

"Boleh."

"Bukannya kemarin kamu bilang tempat kamu sekarang ini dekat dengan lingkungan masa kecil mu? Dekat dengan rumah kedua orang tuamu? Apa kamu tidak ada rencana untuk bertemu mereka? Bagaimana pun, mereka yang membuatmu ada di dunia ini, Helen."

Helen termenung. Ucapan Dewi memang ada benar.

Kalau soal rencana, Helen sudah berencana sejak lima tahun yang lalu, ketika ia pergi. Kalau soal siap, entahlah.

Helen menghela nafasnya panjang-panjang.

Mendengar nafas berat anak angkatnya, Dewi mengerti. Anaknya masih menyimpan luka masa lalunya.

"bagaimana kasusmu, Nak?" Dewi mencoba mengalihkan perbincangan.

"Ya begitulah, Ma. Aku udah jenuh banget disini. Aku ingin pulang. Tapi ya begitulah."

"Ya. Itu juga untuk keamanan kamu, kan. Kenapa tidak berjalan-jalan sebentar. Jangan mengurung diri terus. Tidak baik. Mungkin kamu bisa bernostalgia?"

Nostalgia? Helen melakukannya dan sialnya malah bertemu Jeri
Sialnya lagi, kedatangan Jeri masih saja membuat hatinya bedegup kencang. Memang sungguh sial.

Lima tahun hidup bersama, membuat koneksi batin antara Dewi dan Helen terikat. Dewi selalu tahu jika Helen sedang menahan suatu perasaan. Seperti saat ini. Dewi tahu bahwa Helen ingin mengungkapkan sesuatu.

"Heleeenn???" mendengar kesunyian, Dewi tahu bahwa anak angkatnya sedang melamun.

"iya?"

"kamu itu, lagi telepon kok malah bengong."

Benar. Tidak ada yang tidak Dewi tahu mengenai Helen. Dewi benar-benar mennyayangi dan mengenal Helen.

"Kemarin aku bertemu dengan Jeri. Laki-laki yang pernah aku ceritakan. Dia bahkan ada di hari penyamaranku. Entah itu suatu keberuntungan atau kesialan."

"Lalu??"

"Dia bilang, kalau aku masih peduli keluargaku, aku harus datang ke Rumah Sakit Bhakti Makmur Kamar Melati III. Aku harus datang jika aku masih peduli dengan keluargaku. Aku harus datang jika aku peduli dengan Lena. Dan dia mengatakannya seperti ada sesuatu yang penting. Sesuatu yang memang membuatku harus datang kesana."

"Terus reaksi kamu?"

"Entahlah. aku bingung dan galau. Tiba-tiba, aku jadi ingin datang kesana. Aku ingin tahu, kenapa Jeri menyuruh aku kesana. Maksudku, kalau aku ingin bertemu mereka kan aku tinggal mendatangi rumah mereka. Cara bicaranya juga menyiratkan bahwa aku memang harus datang ke situ."

"Yasudah, kenapa kamu tidak datang kalau kamu penasaran. Kalau kamu tidak mau mencoba, gimana kamu bisa tahu, Kan? Jangan biarkan kamu menyesal si akhirnya."

Helen termenung. Sepertinya ini memang sudah saatnya.

"Ya sudah. Nanti aku akan coba. Okee, aku akan mencoba."

Helen menarik nafas. Baik, sekarang ia akan mencoba.

"Aku akan terima semua konsekuensi. Aku punya seorang ibu yang akan membelaku. Iya kan, Ma?"

Helen meyakinkan dirinya sendiri. Tidak perlu takut. Helen sudah memiliki keluarga dan teman yang baru. Masa lalu biarlah masa lalu

"Bagus. Kalau kamu ragu, kamu bisa telepon mama. Mama akan selalu dukung kamu."

Helen tersenyum. Dewi memang benar-benar pengertian dengannya.

Helen dan Dewi masih asyik bercanda. Mereka membicarakan hal-hal yang tidak penting sampai satu jam kemudian, Helen meletakan hp nya di meja dengan senyum kelegaan terpancar dari wajahnya.

Helen melangkahkan kakinya ke meja rias yang ada di depan tempat tidur. Ia melihat refleksi dirinya dikaca dan tersenyum penuh kemenangan.

"Tidak ada yang akan menyakitiku lagi. Lihat diri ku. Aku kuat, aku cantik, dan aku sudah mapan. Aku berhasil tanpa mereka. Mereka membuangku, dan mereka akan menyesal pernah melakukannya saat aku kembali!!!!"

Credit : Who Are You Now by Sleeping With Sirens

HEL...LENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang