Part 2 - His First Laugh

267 14 16
                                    


Pagi ini merupakan pagi yang sial bagiku. Bagaimana tidak, rantai sepedaku harus putus ditengah perjalanan menuju sekolah. Sendiri pula. Ok pada awalnya aku tak sendiri. Aku bersama Zian dan Mita. Aku tak seegois itu untuk meminta mereka menemaniku mendorong sepeda hingga kesekolah yang jaraknya masih cukup jauh. Lagipula sepeda mereka tidak mungkin untuk dibuat boncengan. Terlebih Zian yang ulangan pada jam pertama dan Mita harus praktek musik, jadi tidak mungkin juga mereka telat. Walaupun berulang kali mereka menawarkan diri dengan suka rela untuk menemaniku atau Zian yang bersikeras memintaku untuk bonceng dibagian depan, tapi kusuruh mereka tetap kesekolah duluan. Meski terus menolak, mereka akhirnya mengalah dan pergi kesekolah duluan. Biar aku saja yang terlambat hari ini.

Setibanya disekolah, pintu gerbang masih terbuka. Itu bukan pertanda baik. Pasti ada penunggu digerbang itu yang tentu saja adalah guru BK dan kesiswaan. Dan benar saja ketika aku berjalan masuk kedalam gerbang setelah meletakkan sepedaku dibengkel belakang sekolah, kedua guru itu telah membuat 'penyambutan' bagi siswa-siswa yang terlambat hari itu. Untung saja hari ini tak hanya aku yang terlambat.

Selama menjalani hukuman yaitu mencabut rumput liar disekitar sekolah, aku terus berpikir bagaimana jadinya aku ketika masuk kedalam kelas dimana Bu Mala yang mengisi jam pertama. Beliau sangat tidak suka bila ada siswa dikelasnya yang terlambat. Beliau terkenal galak. Sialnya kenapa aku harus telat saat jam Bu Mala. Kami, para siswa yang terlambat hari ini, diperbolehkan masuk ketika jam pertama usai.

Dengan langkah gontai, kususuri lorong sekolah yang sepi. Mempersiapkan hati dan mempertebal wajah untuk menghadapi kemarahan Bu Mala. Dikenal oleh Bu Mala karena selalu mendapat nilai bagus tiap mata pelajarannya bukanlah jaminan akan lolos dari amukan Bu Mala. Kuketuk pintu kelas pelan. Tak ada sahutan. Kubuka pintu kelas perlahan. Aku telah disambut oleh tatapan antisipasi oleh anak-anak satu kelas. Meja guru kosong. Alhamdulillah aku selamat hari ini.

"Tuhkan, Za. Gue bilang juga apa. Ini anak gak bakal bolos. Pasti telat." Ujar Erga ketika aku sudah duduk dibangkuku.

"Tumben telat, Kha." Tanya Putri sembari menawarkanku air minum miliknya. Aku menggeleng. "Nggak usah, makasih. Ada masalah sama rantai sepeda tadi."

"Sedikit keberuntungan buat lo hari ini, Kha. Bu Mala absen. Cuman dikasih tugas doang."

"Alhamdulillah."

"Kesambet apa lu telat, Kha? Biasanya juga dateng paling pagi."

"Musibah tak terduga, Za. Kalian khawatir aku nggak berangkat ya? Ngaku aja udah."

"Iyalah kita khawatir kalau lo bolos hari ini, ntar kan ada ulangan biologi. Terus nasib kita gimana kalo lo nggak masuk."

"Sialan."

Mereka terkekeh mendengar umpatanku. Ya, kini aku semakin akrab dengan mereka. Reza yang sedari awal kupikir pendiam, ternyata tak seperti dugaanku. Dia sama jail dan sama cerewetnya dengan Erga. Mereka adalah teman yang memberiku hiburan tiap malam dengan kekonyolan mereka di pesan singkat. Bel pergantian jam pun berbunyi. Kuambil seragam olahragaku dan mengikuti Putri yang sudah terlebih dulu keluar kelas.

Hari ini benar-benar melelahkan. Sudah telat, jam olahraga kali ini harus ambil nilai lari jarak jauh pula. Kakiku, apa kabarmu? Sehat? Untuk absen cewek, namaku masuk pada kloter kedua. Setidaknya bisa beristirahat sebentar. Ketika namaku dipanggil, segera aku bersiap digaris start. Aku optimis akan sampai di garis finish terlebih dahulu. Aba-aba terdengar dan kukerahkan seluruh sisa tenagaku untuk berlari. Satu pemikiranku kala itu, sampai pertama istirahat lebih lama.

Untung saja sainganku hari ini tak begitu berat. Sampailah aku ke garis finish duluan dan langsung diperbolehkan untuk kekelas duluan. Bagus. Sesampainya dikelas, segera kuhampiri bangkuku dan tidur diatas meja. Bangku dekat kipas angin memang menyenangkan. Semilir angin dari kipas angin benar-benar memanjakanku yang masih terengah-engah.

A Million PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang