Senja yang elok tak serta merta membawa suasana hati Alkha jadi membaik. Bermacam-macam pikiran dan berbagai kemungkinan memenuhi otaknya. Ingin rasanya membuang jauh-jauh agar hidupnya terasa sedikit tenang. Tapi inilah hidup. Penuh dengan ragam perasaan yang makin mewarnai agar hidup tak monoton.
Semilir angin sore di depan sebuah pos pengamatan di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang seakan membelai dan mengajaknya melupakan segelintir masalahnya. Ya, sejak tiba di Semarang 3 jam yang lalu, Alkha minta ijin pada orang tuanya untuk pergi ke pelabuhan. Bukan masuk ke dalam area port. Hanya sekedar duduk santai di dekat beberapa kapal milik nelayan setempat yang bersandar di dermaga.
Alkha bukan tipe orang yang suka sendirian saat berpergian. Kali ini ia minta Mita untuk menemaninya. Tentu dengan syarat agar tak seorang pun tau bahwa mereka ada di tempat itu. Tak seorang pun dalam konteks ini adalah sahabat-sahabatnya yang tentunya akan sesegera mungkin merecokinya ketika tahu bahwa ia sudah menginjakkan kakinya di Semarang. Tujuan lain ia menyetujui ajakan Bayu adalah untuk menenangkan diri.
Berkali-kali ia menghembuskan napasnya berat. Seakan banyak hal yang menekan dirinya lalu membuat sesak napasnya. Membuatnya susah walaupun hanya untuk menghirup udara bebas. Tak sehiperbola itu, realitas hidup lah yang membentengi. Hal-hal semacam itu pasti banyak terdapat di novel-novel roman picisan yang dulu sering ia baca. Kehidupan yang sempurna dengan orang yang sempurnya. Alkha terkekeh pelan. Adakah yang semacam itu?
Di dunia ini tak ada yang sempurna. Manusia dengan macam-macam sifatnya tak akan ada yang mampu menjadi sempurna. Kesempurnaan bukan milik manusia. Manusia hanya mampu berusaha menjadi yang sempurna tanpa pernah tahu kesempurnaan yang sejati itu semacam apa dan bagaimana. Pandangan Alkha masih menyapu hamparan laut cukup luas yang membentang di hadapannya. Mita yang sedari tadi menemaninya juga bungkam. Dia seperti paham tentang berbagai hal yang mengganggu teman seumur hidupnya ini.
"Mit..."
"Hmm..."
"Kadang aku suka berandai-andai pengen jadi anak kecil lagi."
"Kenapa gitu?"
"Entah. Yang kupikir, mereka masih bisa bermain dengan tingkah polos mereka. Masih bisa tersenyum, bahkan hingga tertawa lepas karena tak ada masalah apapun yang membelenggu mereka."
"Ya, emang gitu. Tapi hidup bakalan kerasa monoton kalo nggak ada masalah, Kha. Masalah yang datang itu untuk menguji cara kita dan kedewasaan kita dalam menyelesaikannya. Tersaji pilihan tentu. Mau menahan dan menyelesaikannya atau menyerah begitu saja. Lari dari semua kenyataan yang ada."
"Aku nggak pernah ngira kalo masalah bisa sememusingkan ini."
"Hidup lo bakal monoton kalo nggak ada masalah. Bahkan di dunia fiksi pun tetap muncul masalah yang dialami oleh si tokoh utama. Ya... anggep aja, dari masalah-masalah lo itu, ceritanya tokoh utamanya lo."
"Iya juga sih, Mit. Walaupun dunia fiksi itu kebanyakan ya happy ending, tapi bukan berarti tokoh fiksi itu tak mengalami cobaan apapun. Seandainya aku jadi tokoh fiksi, aku bahkan tak tau sebenarnya apa karakterku."
"Kebanyakan orang tentu akan beranggapan kalo lo ini tokoh protagonis. Walaupun gue tau lo nggak se-protagonis kelihatannya."
"Trus menurutmu aku ini apa? Antagonis, huh?"
"Bisa jadi hahaha." Kemudian keduanya tertawa lepas. Konyol memang menganggap jika Alkha ini tokoh antagonis. Tak ada pantes-pantesnya sama sekali.
Bayangkan saja, tokoh antagonis yang sering digambarkan dalam fiksi itu suka marah-marah, mata melotot, nada bicaranya tinggi, penuh akal licik, dan berbagai penggambaran lain yang membuat kita beranggapan kalau tokoh itu adalah si tokoh antagonis. Jangankan untuk marah-marah sambil melotot, berbicara dengan nada tinggi pun Mita jarang melihatnya. Atau mungkin tidak pernah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Million Pieces
ChickLitMemang benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan tak bisa sepenuhnya bersahabat secara murni. Entah si laki-laki yang memendam perasaannya kepada sang perempuan atau mungkin sebaliknya. Lalu mereka akan terus...