Part 8 - Return

152 10 3
                                    

Tak terasa sudah hampir genap 6 bulan aku berada di kota ini. Satu semester telah terlewati tanpa halangan yang berarti. Dan syukurlah rumor-rumor yang beredar sebelumnya sudah berakhir. Hanya saja dengan berakhirnya rumor itu tak lantas membuatku bisa hidup dengan tenang di sekolah ini.

Setelah hampir satu sekolah mengetahui fakta yang mengejutkan jika aku adalah adik sepupu dari salah satu personil band sekolah yang cukup tenar itu, kini hal yang mengusik yaitu mereka menjadikanku kurir cinta dan hadiah-hadiah yang ditujukan untuk Mas Bayu. Jujur saja, wajah Mas Bayu memang tidak bisa dikatakan jelek. Dia ganteng. Hanya saja aku tak ingin mengakui itu di depan dia. Fakta yang tak urung juga mengejutkanku ketika baru datang ke rumah nenek.

Bagaimana tidak? Mas Bayu yang kukenal ketika aku berusia 6 tahun dan dia 7 tahun bertubuh gemuk, tidak tinggi karena tinggi kami sama saat itu, dan wajahnya sedikit dekil. Oke kalau yang terakhir itu menurutku. Tapi apa yang kudapati setibanya aku di Jogja? Seorang pemuda bertubuh tinggi yang memiliki bentuk tubuh lumayan bagus datang menyambutku dan Ayah di depan pintu bersama nenek. Aku sempat tak mengenalinya saat itu hingga ia berseru.

"Wah si cupu jadi cantik sekarang!"

Kalimat itu sukses membuatku seketika mengenalinya. Mas Bayu selalu memanggilku si cupu saat kami masih kecil. Aku bahkan masih ingat dengan suara tawanya yang makin membuatnya nampak begitu menyebalkan. Tiap minggu atau terlebih setiap band Mas Bayu selesai tampil di suatu acara, ada saja yang menitipkan kado untuk Mas Bayu. Ketika kuminta mereka memberikannya sendiri pada orangnya, mereka hanya menjawab kalau Mas Bayu akan menolaknya secara halus.

Dan disinilah aku sekarang, duduk di ruang keluarga bersama nenek, Mas Bayu dan kado-kado miliknya.

"Fansmu makin hari makin nambah aja, Mas. Lama-lama alih profesi juga aku jadi tukang pos." Aku mendengus menatapnya yang tengah membuka kado itu. Awalnya dia menolak menerimanya, tapi dengan sedikit paksaan akhirnya dia mau menerima kado-kado itu.

"Ya jangan salahin aku dong. Resiko punya Mas yang wajahnya semempesona aku kali."

"Idih pede banget. Awas tu kepala ntar jadi gede."

"Nggak usah ngelak deh, Kha. Itu fakta lho."

"Capek lah ngomong sama orang yang tingkat kepedeannya tinggi kek situ."

Nenek tak berkomentar dengan percakapan kami. Beliau hanya sesekali tertawa menanggapi ucapan kelewat pede yang dilontarkan Mas Bayu. Aku heran sendiri membayangkan apa saja yang dialami Mas Bayu selama kurang lebih 9 tahun belakangan. Sayup-sayup terdengar suara lagu Bintang di Surga milik Peterpan yang kujadikan nada dering ponselku. Nama Maul muncul disana. Maulana Rasyid, adikku.

"Assalamualaikum, napa, Ul?"

"Waalaikumsalam. Mbak, kapan balik Semarang lagi? Nggak lupa kan kalo Minggu ini acaranya?"

"Astaghfirullah, Ul, mbak lupa."

"Mbak kebiasaan ih. Masak diacara adeknya sendiri gak dateng. Udah dicariin Ibuk, katanya kalo aku telpon Mbak Alkha, suruh dia pulang."

"Iya, iya. Sabtu mungkin habis pulang sekolah Mbak balik rumah."

"Oiya, kata Ibuk nenek ntar dijemput Ayah yang lagi ada acara di Magelang hari Jumatnya. Mbak Alkha disuruh nyusul sama Mas Bayu. Suruh telepon Ibuk kalo pulang."

"Iya, Maul. Ntar disampein deh pesennya Ibuk. Ada lagi?"

"Udah itu aja. Udah dulu ya, Mbak. Hemat pulsa hehe. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sambungan telepon itu terputus. Aku menatap kalender meja yang ada didekat tempatku duduk. Bagaimana aku bisa lupa dengan acara khitanan adikku sendiri. Kesibukkan sekolah benar-benar membuatku lupa tanggal. Setelah meletakkan kembali kalender yang tadi sempat kuambil itu, lantas kujelaskan pesan yang diberikan Maul. Nenek hanya mengiyakan kemudian masuk kekamar untuk berkemas, mungkin. Ini masih hari Rabu.

A Million PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang