Aku mengeringkan rambutku menggunakan hair dryer yang di beri Riza. Aku menghela nafas. Riza, dimana kamu sekarang?
[Flashback On]
Jogja, 1999"aku berangkat!!" pamitku agak berteriak pada Ibu dan Ayahku serta mba Dina, kakakku.
"dimakan dulu Ta, bursumnya (re: bubur sumsum)"
"ga usah Bu, Riza udah nunggu di depan"
Buru - buru aku keluar gerbang rumahku dengan rambut terurai basah seperti biasanya, kuhampiri Riza yang sedang menyender di sebuah tiang listrik depan rumah bersama sepeda bututnya.
"kebiasaan deh!" kata Riza mengelap wajahnya yang terkena cipratan rambutku lalu dia mengambil sebuah kotak yang dibungkus dengan koran dan memberikannya padaku.
"ini apa?"
"jangan dibuka!"
"bukan bom kan?" tanyaku mencoba menebak isi didalamnya.
"kalo beneran bom gimana?"
"ga mungkin, kamu aja takut petasan"
"hehehe"
"ku buka pulang sekolah ya? udah telat nih" kataku lalu berlari memasuki rumahku lagi dan segera menaruh bingkisan itu di kamar.
"kok balik lagi?" tanya mba Dina.
"masa sih? ini baru mau jalan" jawabku usil pada kakakku yang berbeda lima tahun dariku.
Nadina Emery, kakakku yang sekarang mengambil jurusan psikologi di UGM. Dia cantik, kulitnya yang putih bersih senada dengan rambut panjang nan licinnya itu buat semua perempuan yang ada di Jogja iri melihatnya, termasuk aku. Mba Dina juga sering mengajarkan beberapa anak sekolah dasar menari tarian Jawa yang luwes dan alunan musiknya berhasil menidurkanku dengan cepat. Menurutku, mba Dina adalah perempuan idaman semua pria di muka bumi ini.
"bingkisan tadi asli dari kamu kan?" tanyaku saat Riza memarkir sepedanya di belakang sekolah.
"iya, emang ngopo toh?"
"engga, kalo dari Baron mau ku buang langsung"
"segitunya kamu"
Setelah memarkir sepeda, Aku dan Riza menuju kelas masing - masing, dia duduk di kelas 10 B sedangkan aku di 10 A. Riza sekelas sama Baron, cowok yang mengejarku dan selalu kutolak, dia ketua gangster di sekolah. Tubuhnya yang pendek sangat tidak pantas di sebut 'Bos' oleh siswa - siswa di sekolah ini, kecuali aku. Mungkin hanya aku yang tidak memanggilnya dengan sebutan itu. Riza menjadi anak buahnya Baron, juga beberapa anak seperti Damas, Puguh dan Panji juga ikut menjadi anak buahnya.
Baron bertingkah semaunya dia, aku heran kenapa semua siswa di sekolah ini takut sama dia padahal kalau aku mau aku bisa membuatnya masuk rumah sakit dengan satu pukulan maut yang ku pelajari saat duduk di sekolah dasar.
Setelah jam pelajaran usai buru - buru aku neduh di sebuah halte dekat sekolah, memang cuaca Jogja hari ini sangat membingungkan hari ini hujan besok bisa saja panas dan sebaliknya. Aku menunggu hujan sampai reda disana, aku melihat jam yang melingkar di tangan kiriku duh! mau maghrib. Dan, tiba - tiba gerombolan Baron datang melingkariku, halte jadi sangat ramai oleh knalpot bebek dari motor mereka yang memarkir di sembarang tempat.
"Ta, pulang bareng siapa?" tanya Puguh.
"siapa aja boleh"
"judes amat, mba"
"biarin!"
"mau maghrib, mending karo Baron" kata Damas sambil senyam - senyum ke Baron. Palingan si Damas disuruh Baron ngomong gitu. Ketebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Lady
Teen FictionSebuah kisah cinta yang tak pernah usai dialami oleh seorang wanita karir yang sibuk bekerja dan menyesampingkan urusan cintanya. Namun, ketika teman - temannya sudah menikah Alista mulai kewalahan mencari cinta sejatinya. Dia terjebak dalam perang...