Bab 4. Pengakuan

6.5K 381 3
                                    

Hari ini weekend dan syukurnya aku dapat kesempatan untuk berlibur, biasanya seminggu aku full bekerja namun sekarang karena aku sudah mendapat jabatan tertinggi di kantor aku bisa meluangkan waktuku di weekend seperti ini.

Pagi - pagi aku sudah jogging dengan Ayah, mba Dina serta putranya, Adrian. Mba Dina dan mas Juna menikah 7 tahun lalu ketika aku lulus gelas masterku di Stanford. Mba Dina ga pernah cerita tentang mas Juna selama ini juga aku ga pernah nanya kapan, dimana mereka bertemu. Aku menghargai privasi mereka.

Selama aku kuliah dan magang di luar negri mas Juna memboyong keluargaku ke Bandung cukup lama mereka menetap disana dan akhirnya aku kembali ke Indonesia dengan pencapaian yang tidak main - main, aku membeli rumah yang lumayan besar untuk kami semua dan sepakat keluarga mba Dina pindah kerumahku awalnya ada perasaan tidak enak namun mengingat Ayah yang sudah renta dan ingin tinggal bersama dengan anak dan cucu - cucunya, mereka menyutujuinya.

"Ta, tawaran Ayah sebulan lalu gimana?" tanya Ayah menatap tajam kedua mataku.

"tawaran yang mana, Yah?"

"si Yusuf itu lho"

"hmmphh..."

"umur kamu udah 32 tahun, kamu mau sendiri terus?"

"aku sama Yusuf baru bertemu sekali, masa mau langsung nikah aja"

"kamu maunya berkali - kali?"

"ga gitu juga, pokoknya aku butuh waktu, Yah" tiba - tiba si Ayah meneteskan air matanya. "kok Ayah nangis? Ita salah ya?"

"Ayah cuma sedih ga bisa didik putri - putri Ayah dengan benar, Ayah malu sama Ibu. Dina hamil di luar nikah dan sekarang kamu belum nikah - nikah juga, Ayah merasa gagal"

"jangan gitu dong, Yah. Maafin kami ga bisa jadi anak yang membanggakan buat Ayah" Aku memeluk Ayah erat, ya Tuhan baru kali ini aku melihat Ayah yang sosoknya tegar dan kuat menangis didepanku.

"eyang kok nangis?" tanya Adrian menghampiri kami bersama mba Dina.

"Ayah, kenapa?"

"gpp cuma kangen aja sama adikmu, baru minggu ini dia bisa libur" jawab Ayah bohong.

Setelah jogging kami pulang bersama, rupanya mas Juna sudah mempersiapkan sarapan untuk kami, emang pria idaman!

Aku memperhatikan Ayah yang sepertinya berpura - pura tertawa mendengar lelucon dari mas Juna, ga tega aku sebagai anak melihatnya, ya ampun jujur aku sama sekali tidak tertarik dengan perjodohan aku dan Yusuf, meskipun dia seorang pengusaha pertambangan yang menjanjikan dan berpenampilan menarik tapi tetap saja hatiku masih menunggu seseorang, seseorang yang entah berada dimana sekarang, kami terputus hubungan setelah lulus SMU aku juga sudah mencari kontaknya beberapa waktu lalu tapi sepertinya dia menghindar dariku.

Setelah brunch aku ke kamar menyelesaikan tugas kantor yang sedikit lagi selesai, teleponku berdering, Yusuf memanggil, aku malas meladeninya ya ampun kenapa harus menelepon di waktu seperti ini sih, Suf?

"sore, Ta"

"iya, kenapa menelepon?"

"sepertinya kamu sibuk ya"

"hehe ga juga, memang ada apa?" tanyaku tertawa garing. Seseorang mengetuk pintu kamarku, mba Dina, lagi - lagi ga tepat. Dia menongol di depan pintu lalu aku mengisyaratkannya untuk masuk kedalam.

"kata Ayah hari ini kamu free, mau jalan ga?"

"free darimana? meskipun libur aku tetap mengerjakan tugas kantorku, Suf"

Single LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang