Aku bangun dengan kedua mataku yang sembab ditambah kepalaku yang berat kurasa. Jam 10 pesawatku take off menuju Jakarta, aku tidak ingin keluar hotel, perasaanku tidak karuan. Sedih, bahagia, takut, lega dan galau. Dadaku masih sesak mengingat kejadian tadi malam, aku melihat wajahku di cermin. Mukaku kucel sekali, riasanku bekas semalam masih menempel di wajahku, ku hapus satu persatu dari wajahku.
Kemudian aku bergegas mandi dan pack semua barang - barangku, aku mengambil jasku yang ku pakai tadi malam, sudah lumayan kering. Aku masukkan semuanya dalam satu koperku. Ya, aku siap meninggalkan Singapore, aku siap meninggalkan semua cerita disini, aku siap.
Alex dan Chiko sudah di depan kamar hotelku, mereka menungguku, Chiko mengambil koperku dan kita pergi menuju bandara.
"matamu sembab sekali" bisik Alex yang sedari tadi disampingku. Aku melihat wajahku di layar ponsel, aku tidak bisa ke kantor dengan keadaan seperti ini tapi.. oke aku putuskan untuk mengenakan kacamata hari ini.
Ketika sampai dikantor beribu pertanyaan yang aku dapatkan dari para karyawanku, untung aku punya Chiko yang bisa menjawab semuanya itu. Ya, back to reality. Sekarang kembali ke meja kerjaku dengan setumpuk pekerjaan yang meraung minta dikerjakan secepatnya, aku melihat Karin yang sedang menyeruput kopinya berjalan ke arahku.
"selamat ya, Bos!" ucap Karin.
"Rin, tolong lo bikin surat pembatalan kontrak"
"hah? udah gila ya lo?"
"ini hak gue, tolong lo bersikap ga melebihi batas sebagai karyawan"
"lo itu cuman direktur bukan dirut ga punya hak buat ngebatalin kontrak gitu aja"
"lo tau, Bu Lisa ngasih tanggung jawab perusahaan ini ke gue selama dia pergi ke Amerika dan gue berhak atas ini"
"Alista Emery! come on, Riza itu masa lalu lo" Aku mendelik, bagaimana dia bisa tau Riza terlibat dalam hal ini? "ga sengaja kemarin gue liat data pribadi dia" lanjutnya.
"ga usah ikut campur, lo bawahan gue!"
"lo pengecut, tau ga?! gue emang bawahan lo, tapi gue masih syah jadi sahabat lo!!" kami terdiam beberapa saat "Ta, gue minta lo profesional" katanya lagi dan meninggalkan ruang kerjaku. Brengsek!
Tekad ku sudah bulat, memang aku pengecut, memang aku menghindar darinya. Tapi, aku lakukan semua itu karena aku ga mau berurusan dengan dia lagi toh, dia sekarang sudah bahagia sama Arum aku ga ingin mengganggunya. Rasa yang ku punya pada Riza belum sepenuhnya hilang maka aku harus move on darinya. Jika Karin tak mau membuatnya akan kusuruh Chiko membuatnya.
"hah? dibatalin? kenapa?"
"bukan urusan kamu"
"ini akan menjadi urusan saya kalau terkait dengan perusahaan" kata Chiko mulai menentangku. "maaf, Bu, saya lancang cuman perusahaan Bapak Fahri lah yang bisa menaikkan kinerja perusahaan"
"tentang kinerja perusahaan itu bukan bergantung pada siapa perusahaan ini bekerja sama tapi pada karyawannya. Besok pagi surat itu harus ada di meja saya"
Dengan tatapan pasrah, Chiko menganggukkan kepalanya dan kembali berkutat pada layar komputer. Keputusan ku sudah bulat.
Ponselku berdering, dari Arum. Ada apa? Aku tidak ingin mengangkatnya namun, aku juga sedikit penasaran mengapa tiba - tiba Arum menghubungiku.
"hallo, Ta?" katanya langsung ketika aku menggeser layar ponselku untuk mengangkatnya.
"hallo" jawabku datar.
"kamu sudah sampai Jakarta?"
"sudah, kamu?" tanyaku basa - basi.
"belum nih, katanya Kenzo belum puas liburannya" jawabnya buat hatiku semakin tak karuan, lagi - lagi dia membahas buah cintanya dengan Riza. Ah! Kemudian aku mendengar suara anak kecil, benar dugaanku, itu Kenzo.
"hai aunty.." katanya dengan suara khas yang buat emosiku mereda sedikit.
"hai Kenzo, apa kabar?" tanyaku mencoba bersikap ramah.
"baik, coklat Ken udah diperut aunty kan?" Astaga iya, aku lupa kemarin dia memberiku sebar coklat, sepertinya masih dikoper belum ku beresin karena tak sempat.
"udah dong.." jawabku bohong.
"ih Kenzo maen sana sama daddy, ganggu aja deh.." kata Arum dan lagi - lagi buatku cemburu. "sorry, ya Ta, suka begitu Kenzo.. nurunin sifatnya Riza kan, Ta?"
"ha? haha iya.."
"jadi gini, Ta minggu depan rencananya aku sama Riza mau nujuh bulanan buat bayi kedua kita, kamu bisa dateng kan Ta?" Aku terdiam mencari alasan untuk tidak datang ke acara itu.
"Ta? kamu bisa dateng kan?"
"maunya sih, tapi kan kamu tau jadwalku akhir - akhir ini padet banget"
"yah, dateng dong, Ta, maksudku biar sekalian reunian gitu soalnya teman - teman SMU sudah kuundang semua, lho. Sayang banget kalo kamu sampe ga dateng"
"gitu ya? oke deh, nanti aku usahakan"
"bener ya, Ta?"
"iya, tapi aku ga janji ya"
"oke deh, see you, Ta"
Kira - kira begitulah percakapan kami di telepon. Jujur saja, aku masih kesal atas kejadian kemarin. Tapi, kalo dipikir - pikir aku ini egois banget. Riza dan Arum sudah bahagia sekarang, punya Kenzo dan seorang anak lagi yang dikandung Arum, mengapa aku harus iri? seharusnya aku bahagia melihat mereka bahagia, Riza dikarunia anak yang begitu lucu dan istri yang setia menemani Riza kapan saja. Coba kalau Tuhan menjodohkan kami jelas aku tidak bisa menemani suamiku atas dasar pekerjaan. Ya, seharusnya aku ikut bahagia.
Hari ini aku ga overtime, kepalaku mumet banget, sepertinya aku meriang. Aku pulang kantor lebih awal dari biasanya dan jam 3 aku sudah sampai rumah. Duh, ga biasanya aku kayak gini. Setelah mandi aku langsung tidur di kasurku yang lumayan besar, enak sekali rasanya. Sekitar 6 jam-an aku tertidur pulas membuat perutku keroncongan aku keluar kamar lalu pergi ke dapur.
Syukurlah masih ada yang bisa mengganjal perutku sampai pagi. Kemudian aku ke kamarku lagi mengecek ponselku, aku mendelik. Beberapa panggilan tak terjawab muncul di balik layar ponselku aku mencoba menghubungi nomor tak dikenal ini. Namun ketika akan memencet tombol call nomor tak dikenali ini kembali menelponku.
"hallo, Ta?"
"hallo? maaf siapa ya?"
"Baron.." Aku kaget, darimana Baron tau nomorku? setelah diingat - ingat waktu itu aku pernah memberinya nomor teleponku. Ohya.
"oh Baron.." kataku.
"gue ganggu lo tidur ya?"
"ah enggak, by the way ada apa telpon?"
"emangnya ga boleh?"
"enggak"
"haha. Ga berubah lo, Ta"
Jujur, aku senang Baron datang disaat - saat seperti ini. Dia bisa jadi pelipur laraku. Ternyata dia menelponku untuk mengajak pergi bersama ke acaranya Riza, jelas aku tolak. Bukannya sok jual mahal memang aku tak ingin datang saja kesana, kalaupun datang ya pasti sama Karin atau Karis, eh tapi ga mungkin Karis pasti dia sama Thorn terus.. ga mungkin sama Karin juga aku kan lagi marahan sama dia. Fix aku ga dateng.
"jadi bener lo ga mau bareng gue nih, Ta?"
"kenapa musti ngajak gue sih?"
"ya gpp, pengen ngerasain satu mobil aja sama lo, salah satu impian gue tu, inget ga?"
"hahaha. Jadi tersanjung lo nulis nama gue di buku harian lo"
[Flashback On]
Buku Harian Baron, 1997Aku mengambil sebuah buku dari dalam tas Baron, sebenarnya aku ga mau kepo cuman karena terlanjur aku lihat maka aku buka saja helai per helai halaman buku itu. Ha? ternyata ini buku harian, ga nyangka Baron se-sweet itu. Kemudian aku melihat 100 impian yang ditulisnya ada 10 impian yang dia tulis dengan menyebut namaku.
65. Aku ingin dia makan gudeg buatan Ibu.
66.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Lady
Teen FictionSebuah kisah cinta yang tak pernah usai dialami oleh seorang wanita karir yang sibuk bekerja dan menyesampingkan urusan cintanya. Namun, ketika teman - temannya sudah menikah Alista mulai kewalahan mencari cinta sejatinya. Dia terjebak dalam perang...