10 Impian Dengan Alista
65. Aku ingin dia makan gudeg buatan Ibu
66. Aku ingin dia senyum kepadaku
67. Aku ingin menjadi temannya
68. Aku ingin ngobrol yang lama dengan dia
69. Aku ingin dekat dengannya
70. Aku ingin mengantarnya pulang kerumah
71. Aku ingin punya mobil dan merasakan satu
mobil dengannya
72. Aku ingin memegang tangannya
73. Aku ingin memeluknya, walau sekali
75. Aku ingin menjadi orang pertama yang tahu
dia sedih dan orang terakhir yang tahu dia
bahagia karena aku mencintainya sampai
kapanpun.Impian yang ke 75, buatku benar - benar merasakan kalau dia itu bukan gangster yang selama ini ku anggap negatif di pikiranku. Baron beda. Dia penyayang.
"sudah berapa lama kamu baca buku harianku?" tanya Baron yang berdiri disampingku. Untungnya dia hanya sendiri tidak bergerombolan seperti biasanya.
"hah? emangnya aku baca? cuma liat saja kok"
"ya tak apa diliat saja, tapi jangan pakai perasaan liatnya"
"ih!" kataku mencubit perutnya dan pergi meninggalkannya.
[Flashback Off]
"ke-34 kalinya lo nolak gue"
"hahaha jadi selama ini lo itungin?"
"bukan cuma diitungin di tulis di diary juga"
"segitunya haha. Jadi pengen baca diary lo lagi, boleh ga gue baca lagi?"
"udah gua bakar tau, abis gue tau lo kuliah di Stanford langsung deh gue bakar barang - barang yang ada lo nya"
"curhat nih ceritanya?"
"iya, abis ga ada temen curhat lagi gue, Damas, Puguh, Panji, Riza udah pada kawin semua. Kayaknya cuma kita, Ta yang masih on the way"
"Karin juga belum.."
"ohya? minta kontaknya dong" kata Baron merengek padaku. Yah! ga berubah playboynya tetep sama dari dulu.
"udah mau married dia"
"kan bener kayaknya cuma kita aja, Ta"
"lo nyusul dong sama pacar matre lo itu haha"
"diputusin gue.."
"yah kenapa? gaji lo kan cukup beliin dia tas bermerk"
"udah ah jangan bahas dia, bahas kita aja"
"BARON JANGAN SAMPE GUA TUTUP YA!!!" kataku agak berteriak, ini lama - lama si Baron makin ngaco aja deh.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi, cukup lama malah lama banget aku telponan dengan Baron. Membicarakan semua yang kita anggap layak untuk dibicarakan, dari yang santai hingga serius kita jadiin topik pembicaraan. Ternyata Baron itu asik juga orangnya, coba aku tau dia begini saat SMU aku yakin sekali yang aku pacari saat itu bukan Dennis tapi Baron. Yasudahlah, memang sepertinya Baron hanya menjadi pelampiasanku atas semua kesedihan yang aku rasakan saat ini. Thanks, Ron.
**
Sekitar pukul 9 pagi aku sampai kantor. Semua karyawan menatapku bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya sepetinya mereka tau aku membatalkan kontrak kerja sama dengan Riza. Ya, memang perusahaan Riza bisa jadi penyelamat bagi perusahaanku tapi, lagi - lagi dengan keegoisan seorang direktur yang masih memiliki rasa dengan sahabatnya itu menghancurkan impian orang - orang yang sudah bekerja keras selama ini. Nasi sudah menjadi bubur ini resiko yang harus aku tanggung, bagaimana kedepannya akan aku hadapi semampuku.
"Karin ga masuk?" tanyaku pada HRD, Anita.
"oya, saya hampir lupa ngasih ini ke Ibu kemarin.. dari Karin"
"ini apa?" tanyaku sambil mengambil map coklat dari Anita.
"sepertinya surat pengunduran diri, Bu"
Karin benar - benar gila, batinku. Aku langsung menelpon Karin tapi tidak diangkatnya mau ga mau aku harus ke apartemennya nih. Semoga dia mau membukakan pintu untukku.
Ting.. nong..
Karin masih tidak membukakan pintunya, aku telpon berkali - kali juga ga diangkat segitunya dia marah sama aku.
Ting.. nong..
Suara bel yang kupencet sudah tak terhitung jumlahnya, aku mulai cemas takut Karin kenapa - kenapa. Karena sudah 30 menit-an aku di depan pintu apartmennya aku memanggil security untuk mengambil kunci cadangan. Aku benar - benar khawatir.
Ketika pintu sudah terbuka, ternyata kosong. Apa dia pergi ya? tapi ga mungkin, kalo dia ga ngajak aku. Apa pergi ke bar? lebih ga mungkin lagi siang - siang gini bar nerima pengunjung. Lalu aku membuka kamar mandi yang terdengar suara kran yang terus menyuruhku untuk memasuki ruangan itu.
KARIIIIINNNNNN!!!!!!
ASTAGA UDAH BERAPA LAMA DIA PINGSAN DI ATAS CLOSET ITU??!!!
Eh tunggu dia pingsan apa tidur ya? aku membangunkannya dan mengguncangkan tubuhnya, dia bangun. Ketika aku ingin memarahinya dia langsung memelukku. Ga biasanya dia kayak gini. Karin kamu kenapa?
Wajahnya pucat, kantung matanya begitu hitam, matanya juga sembab seperti orang habis menangis. Ini bukan seperti Karin yang aku kenal. Aku mencoba menahan pertanyaan yang ingin kutanyakan dari mulutku, lalu aku memberinya minum dan menidurkannya di kasurnya. Sepertinya dia melanjutkan tidurnya lagi. Ya ampun Karin kamu kenapa sih?
Aku telpon Alex ga ya?
Karin's POV
Duh, kenapa kepalaku pusing banget gini sih? Aku mencoba menelpon Alista untuk kemari semoga dia ga marah sama aku.Lah kok sibuk terus? telponan sama siapa sih nih anak? Karis juga ga diangkat. Pada kemana sih?
Rasanya sudah 3x aku keluar masuk kamar mandi untuk muntah, aku mual banget. Oya, aku baru ingat seharusnya minggu ini jadwal haid ku sudah mampir tapi kenapa belum? Paling stres aja sih aku pikir, tapi aku penasaran juga bulan lalu aku sempat berhub. intim dengan Alex tapi yakali kebobolan? waktu itu kan dia pake alat pengaman. Aku berusaha berpikir positif, tapi hatiku gelisah tidak karuan kalau aku.. enggak.. enggak.. enggak mungkin.
Akhirnya aku membeli testpack di Sevel, kok aku jadi deg - deggan gini ya? Ya Tuhan semoga garisnya satu.
BANGSAATTTTT!!!!
AKU POSITIF!!!!! GARISNYA DUA...
GA MUNGKIN...
ENGGGAAKKKK!!!!!
Seketika tubuhku lemas, rambutku tak karuan setelah ku acak - acak untuk meredakan emosiku, aku nangis sekejar - kejarnya. Aku hamil, di luar nikah. Aku takut, Alex pasti ga mau tanggung jawab, kita pacaran kan hanya untuk memuaskan nafsu sesaat saja ini juga salah aku, dia juga ga berhak untuk tanggung jawab. Ya ampun aku harus gimana? Aku ga mau anakku lahir tanpa seorang Ayah. Yang aku lakukan malam itu hanya menangis di atas closet yang kujadikan tempat sandaran. Nangis semalaman ternyata buat kantukku lebih cepat dari biasanya, aku tertidur diatas sana. Semoga besok pagi aku terbangun di kasur dan melupakan semua mimpi burukku malam ini.
**
Sepertinya sudah pagi tapi mataku sulit sekali untuk kubuka, kudengar seseorang memanggil namaku, Alista. Tunggu, saat ini apa aku sudah di tempat tidurku atau masih di atas closet? Aku belum membuka mataku rasanya berat sekali. Kemudian suara itu datang menghampiriku, Alista menggoncangkan tubuhku, aku membuka mataku perlahan. Ternyata aku ga mimpi. Ini real. Satu pernyataan yang aku sulit terima pagi ini, tadi malam bukanlah mimpi buruk dan aku benar - benar sedang hamil saat ini. Rasanya aku ingin menangis satu kali lagi tapi mataku seakan menolak untuk mengeluarkan air matanya. Aku langsung memeluk Alista yang menatapku kebingungan, ku harap dia tak menanyakan pertanyaan 5W1H kepadaku, dan ya dia mengerti. Dia membopongku ke tempat tidurku, mataku lelah aku ingin istirahat saja.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Single Lady
Novela JuvenilSebuah kisah cinta yang tak pernah usai dialami oleh seorang wanita karir yang sibuk bekerja dan menyesampingkan urusan cintanya. Namun, ketika teman - temannya sudah menikah Alista mulai kewalahan mencari cinta sejatinya. Dia terjebak dalam perang...