Sudah dua hari ini Gavin menjalani hari-hari sekolahnya, bila hari sekolah seperti ini. Ia hanya akan mengambil pekerjaan manggung dan syutting di hari Sabtu dan Minggu. Sesuai kesepakatan dengan Ghea—kakak perempuannya. Sekaligus managernya.
"Oy, Vin. Bangun woy. Udah istirahat, nih."
"Hmm?" Gavin menggeliat, pelajaran akuntansi tadi membuatnya mengantuk sekali. Keuntungan yang ia dapat duduk di belakang, tidak terlihat saat Gavin sedang tidur.
"Buset, buruan bangun cepet deh, Vin! Laper gue, ayo ke kantin buruan." Suara Ardhana membuat Gavin akhirnya tebangun. Gavin melepaskan kacamata yang hanya ia pakai saat membaca.
"Ikut enggak? Nempel molor banget sih lo. Tinggal kita berdua nih di kelas, tuh bocah-bocah sayton udah pada nunggu kita di kantin." Ardhana tetap mengomel.
Gavin masih bergeming, ia habis bangun dari tidur nyenyaknya. Berdua di kelas kelas kata Ardhan? Gavin mengedarkan pandangannya. Tidak! Mereka tidak berdua. Ada satu anak perempuan duduk di meja paling depan di barisannya.
"Kita enggak berdua doang bego, tuh ada temen." Tunjuk Gavin ke arah depan.
"Ah, banyak omong lo ah, Vin. Gue laper. Gue ke kantin aja deh sekarang. Lo gausah titip. Kita putus, Vin! Gue benci sama lo." Ardhana sok dramatis, lalu langsung beralari keluar kelas menghindari amarah Gavin. "Lo mengkhianati penantian berharga gue. Gue udah nungguin lo bangun tidur padahal!"
"Dih! Najis gue!" Teriak Gavin.
Perempuan yang duduk di depan hanya diam saja. Seolah tidak terganggu. Satu yang membuat Gavin terkejut. Ada lima belas soal akuntansi tertulis di papan tulis dan di kumpulkan setelah bel istirahat.
"Buset, ada tugas. Kok ini anak-anak malah pada istirahat, ya? Wah, gue tidur berapa lama sih?" Gavin merutuki dirinya sendiri.
Gotcha! Siapa tahu satu-satunya gadis yang bertahan di kelas bisa jadi malaikat penyelamatnya. Gavin duduk di kursi belakang meja gadis itu.
Duk! Duk! Gavin menendang pelan kursi di depannya. Memanggil gadis itu.
"Ah!" cewek di depannya terlonjak kaget. Membuat kertas yang sedang di tulis nya dengan rumus menjadi tercoret.
"Eh, Sorry. Gue ngagetin lo ya?" Gavin ganti berdiri di depan gadis itu, rambut panjang cokelat keemasan gadis itu menutup wajahnya.
Mendengar suara Gavin, gadis itu mengangkat wajahnya menghadap Gavin. Pertama yang di lihat Gavin, mata gadis di depannya ini.
Biru, terlihat menenangkan. Bukan mata dengan memakai kontak lensa, tapi biru asli. Jelas saja, rambut cokelat keemasan yang sangat terlihat natural, ternyata memang asli. Kulitnya putih, Pipi-nya sedikit chubby terlihat lucu. Terlihat langsung, bahwa dia blasteran Indonesia dengan barat.
Melihat wanita di depannya, Gavin langsung tersenyum. "Emm—sebenernya tadi gue mau nanya tentang soal akuntansi tadi." Jelas Gavin langsung pada intinya.
"Alvaro Gavin, right?" Mata biru Rose menatap Gavin dengan dalam.
"Eh? Iya. Kenapa?" Nah! Di detik ini, Gavin baru ingat, seperti merasa Deja Vu.
Gadis ini yang menatapnya dengan tatapan tidak santai saat dua hari yang lalu. Hari pertama masuk sekolah. Dengan tatapan yang sama. Dengan mata biru indahnya.
Yang ditanya hanya menggeleng. Lalu kembali mengerjakan soalnya. Membuat Gavin melongo dengan ulahnya. Membingungkan.
"Jadi, nama lo?" Tanya Gavin.
"Rose Courtney. You can call me Rose." Jawab Rose sambil tetap mengerjakan soal akuntansinya.
Gavin mengangguk mengerti mendengar namanya. Rose, bunga mawar. Nama yang cantik, seperti yang memakai namanya. Gavin melihat jam dinding di kelasnya. Lima belas menit lagi sebelum bel masuk. Akhirnya Gavin ingat tujuan awal ketika menghampiri Rose. Sial, Gavin terhipnotis oleh mata biru indah milik Rose.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSES
Ficção AdolescenteNamanya Rose Courtney, yap! nama bule selalu terkenal ribet dan melilit lidah orang indonesia, tapi sifat Rose tidak seribet namanya. Orangnya simple, tidak banyak bicara, many lot's of secret, beauty like her name, beauty like a rose flowers, dan s...