30 - Leon Courtney Abiggail

20.5K 1K 17
                                    

Yang dilihat Gavin saat ini adalah, cahaya putih yang benar-benar menyilaukan wajahnya.

Yang tercium oleh hidung Gavin saat ini adalah, bau obat yang menyeruak. Benar-benar menusuk indra penciumannya. Dan kemudian kepala nya kembali pening, seperti saat terjatuh dari kursi bar kemarin.

"Argh," Gavin mengerang. Memegang kepalanya yang benar-benar berdenyut. Tiba-tiba memori saat ia terjatuh kembali berputar di kepalanya.

"Vin..." Suara lembut seorang wanita terdengar di telinga Gavin, dan Gavin merasakan punggung tangannya di elus secara perlahan. Seolah-olah yang menyentuh takut tangan Gavin terasa sakit oleh sentuhannya. "Kamu udah sadar?"

Suara wanita itu terdengar lagi, memaksa Gavin kembali mengerjapkan matanya. "Kak Ghea?" Di lihatnya Kak Ghea di sampingnya, ekspresinya benar-benar khawatir. Air mata berada di pelupuk matanya.

Gavin mengedarkan pandangannya, ia tidak berada di kamarnya. Dan tangannya terpasang selang infuse. "Rumah sakit? Kenapa gue bisa sampe sini kak?"

Tidak lama kemudian, seorang dokter berperawakan tinggi dan berkacamata datang dengan tiga orang suster. Dokter itu mulai memeriksa Gavin.

"Gimana, kamu masing pusing?" Tanya dokter itu.

"Ma-masih dok." Gavin menjawab dengan bingung.

"Akhirnya kamu sadar setelah semalaman pingsan." Sang dokter itu menyuruh salah satu suster membuka tirai. "Sekarang sudah jam satu siang. Kamu lama sekali pingsannya nak. Sudahlah, banyak istirahat dulu ya. Segera makan siang. Saya tinggal dulu. Saya permisi." Dokter itu pamit kepada Ghea dan Gavin, yang di beri ucapan terimakasih oleh Ghea sebelum dokter itu meninggalkan kamar rawat Gavin.

"Kak?" Gavin kembali meminta penjelasan.

Ghea menghembuskan nafas sambil kembali duduk di kursi samping ranjang Gavin. "Lo main ke diskotik kan? Tempat Karrel ulang tahun? Udah berapa kali sih gue bilang lo nggak usah main ke tempat begituan dek."

"Gue Tanyanya, kenapa gue bisa sampe sini kak?" Gavin mengeram jengkel.

"Lo nggak inget? Lo di tonjok bertubi-tubi sama Raffa. Pacarnya Rose, bahkan lo sampai jatuh dari kursi bar. Makannya nggak usah macem-macem sama orang mabuk. Untung dia enggak ngebunuh lo. Terus habis itu lo pingsan, di bawa deh sama Arumi, Vano, sama banyak artis gitu dateng ke sini masukin lo ke UGD. Muka lo sampe bonyok gitu!" Ghea menekan pipi Gavin dengan pelan. Tapi membuat Gavin mengaduh kesakitan.

Kemudian Ghea menyodorkan kaca berukuran besar ke muka Gavin. Gavin hanya menatap datar pantulan muka nya di cermin. Mata kanan dan kiri nya lebam. Pipi kanan Gavin membiru, ujung bibirnya sobek.

"Untung kepala lo nggak bocor, untung tulang hidung lo nggak retak. Lo tuh ya-"

"Kak!"

Sentakan Gavin membuat Ghea berhenti mengomel. Gavin kembali menarik selimutnya, dan tertidur membelakangi Ghea. "Luka gue ini nggak akan di visum kan? Dan lo nggak akan ngelaporin Raffa ke polisi kan?" Tanya Gavin dengan suara pelan. Nyaris berbisik.

"Tapi dia udah nonjok kamu sampai babak belur gini Vin."

"Dia mantan pacar Rose kak, dia sahabatnya Rose."

"Iya gue tau, terus kenapa?"

"Udah biarin aja kak. Gavin udah nggak mau berurusan sama dia lagi. Nggak usah bawa-bawa nama dia ke kantor polisi. Suruh temen-temen Gavin yang lihat kejadian itu tutup mulut. Jangan sampai infotaiment tau kak."

ROSESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang