Ting!
Pintu lift sudah tertutup. Di dalam lift hanya ada Rose dan Gavin. Mereka akan naik ke lantai 3 restaurant.
"Rose." Gavin mengusap bahu Rose yang masih dalam rengkuhannya.
Pandangan Rose menatap ke bawah, menunduk. Bahunya masih bergetar, Rose terlihat... shock.
Yang Gavin bingungkan, kenapa hanya dengan paparazzi Rose merasa shock seperti ini?
Lalu pintu lift sudah terbuka, mereka sudah sampai di lantai 3.
"Rose, come on." Suara Gavin dan suara music yang terdengar di lantai 3 mulai menyadarkan Rose kembali. Ia menatap kedepannya, sudah banyak sekali orang di sini. Rose mulai melangkahkan kakinya.
Nuansa putih dan biru terasa dominan di sini. Bunga-bunga mawar merah dan mawar berwarna biru yang masih segar pun banyak menghiasi ruangan ini.
Rose hanya diam memperhatikan interior ruangan ini. Sudah ada meja dessert di ujung ruangan, para pemain music juga ada. Tempat duduk untuk para tamu. Tapi acara belum mulai, belum terlihat Ghea disini. Cakka pun juga belum ada.
"Rose, are you okay?" Gavin kini menggenggam tangan Rose lebih erat.
"Cuma agak pusing aja." Rose berusaha menyunggingkan senyumnya.
"Sorry.."
"It's okay Vin. Kamu enggak nyamperin bunda atau Kak Ghea dulu?" Rose melihat ke sekitar. Ingin rasanya ia menyapa ayah Gavin atau bunda-nya. Tapi mereka tidak ada.
"Mereka lagi siap-siap. Tadi Bunda nge Line gue."
Rose masih diam. Pandangan Rose memang lurus kedepan. Tapi pandangan mata itu kosong.
"Duduk dulu yuk?" Gavin menggiring Rose ke salah satu bangku bernuansa putih. "Tunggu sini dulu ya, gue ambilin minum."
"Aku bisa sendiri kok." Rose menahan tangan Gavin yang sudah mau mengambilkannya minum.
Gavin hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah meja dessert tempat makanan dan minuman manis di letakkan.
Walaupun di ruangan ini lumayan ramai, belum ada seorang pun yang menyapa Rose. Bagi Rose itu tidak penting. Toh ia tidak mengenal mereka semua. Rose hanya bingung, pada saat ia di tengah-tengah paparazzi tadi rasanya ia seperti de javu. Seperti pernah mengalami hal itu.
'Tapi kapan?' Rose memegangi kepalanya yang seperti berputar. Ia menggigit bibir bawahnya. Telapak tangan Rose mulai berkeringat. Seperti vidio yang berputar dengan cepat, ia seperti melihat seorang Rose kecil berusia 3 tahun yang di kerubungi banyak sekali camera, dengan seorang wanita melindunginya. Dan tiba-tiba saja salah satu camera itu mengenai kepalanya.
"Aaa!" Rose memekik tertahan, sambil menutup mukanya.
'Trauma itu, telah kembali. Aku ingat! Aku..'
"Rose?!" Rose tau itu suara Gavin. Gavin menarik tangan kanan Rose yang menutupi wajahnya.
"Rose, gue minta maaf banget. Gue gak tahu kalau tadi bisa banyak paparazzi. Sampai buat elo kaya gini. Jujur gue merasa bersa-"
"I'm okay Vin." Rose memotong kata-kata Gavin.
"Lo jangan bohong sama gue."
"Aku.. Aku Cuma ngerasa pernah ngalamin kaya gini sebelumnya. Tapi, waktu aku mau nginget lebih dalam lagi. Aku ngerasa ingatan ku enggak ngijinin. Mungkin kenangan ini terlalu buruk." Rose tersenyum dengan getir.
Gavin yang merasa bersalah, lalu memberikan minuman coklat dingin kepada Rose. "Kalau inii bisa buat lo lebih baikkan." Gavin mengedikkan bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSES
Fiksi RemajaNamanya Rose Courtney, yap! nama bule selalu terkenal ribet dan melilit lidah orang indonesia, tapi sifat Rose tidak seribet namanya. Orangnya simple, tidak banyak bicara, many lot's of secret, beauty like her name, beauty like a rose flowers, dan s...