"Anna, mau kukenalkan sama seseorang gak?" tanya Alika di sela-sela kegiatannya mengumpulkan kartu undangan. Gadis itu mungkin sudah jengah dengan gelar jomblo sahabatnya, karena itu Alika beralih profesi jadi makcomblang dadakan.
"Siapa?"
"Temen jauh." Alika tersenyum. "Dia ganteng, kamu pasti suka."
Anna memutar bola matanya malas. Sekarang bukan saatnya membahas laki-laki, tapi Alika seakan tengan menjadi makcomblang, menjodohkannya dengan siapa saja.
"Anna ayolah, aku serius. Dulu dia kakak kelasku cuma saat aku pindah, kami jarang berkabar. Namun, dia berpesan untuk memberi kabar jika aku menikah."
"Begitu?" kata Anna. "Berarti saat walimahan dia akan datang ke sini, ya?" tanya Anna lebih lanjut.
"Iyalah, kami terputus oleh jarak ribuan kilometer. Dia sosok yang shalih, dingin juga. Banyak perempuan yang menyukainya. Kira-kira sekarang dia sudah menikah belum, ya?"
Anna menimpuk kepala Alika dengan bantal. "Kamu yang menawari kok gak tau statusnya sekarang gimana, kalo dia udah menikah gimana coba? Aku gak mau jadi istri kedua."
"Tenang saja, aku yakin dia bisa berlaku adil pada kedua istrinya, hahaha!" Tawa Alika menggema, membuat lemparan bantal itu kembali menyapa wajahnya.
"Ampun, Ann. Aku becanda, tapi, kalau dia memang masih lajang, kamu mau kan kenalan sama dia?"
Anna geleng-geleng kepala. Sejak dulu Alika tidak pernah berubah. Suka menjodoh-jodohkan Anna dengan siapa saja. Bagi Alika, kebahagiaan Anna adalah kebahagiaannya juga.
Karena itulah Anna cukup tahu diri untuk tak mengharapkan Fadhil lagi. Ia tak mau melukai perasaan Alika. Meski semua itu bukan keinginannya.
"Eh ... bagaimana A Ayash? Sudah punya calon?" tanya Alika, mengganti topik obrolan. Padahal pembahasan yang tadi saja belum selesai. Anna geleng-geleng kepala.
"Belum." Anna menggeleng. "Dia belum mau menikah. Aa mau belajar ke luar Negeri."
"Hebat!" Alika terkagum-kagum. "Padahal Aa-mu itu ganteng, cerdas, shalih. Jodohnya juga pasti gak sembarangan, ya."
"Ya, mungkin." Anna menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sudah pasti tak sembarangan karena kakak lelakinya itu menyebalkan. Istrinya pun harus memiliki kesabaran tingkat tinggi.
"Hey, tidakkah menurutmu percakapan kita terdengar sedikit aneh?" Alika bertanya begitu raut sahabatnya sudah tak seceria tadi.
"Percakapan yang mana? Bukankah percakapan kita memang tidak nyambung sejak tadi?"
"Ah, kau ini."
"Hahaha ...."
***
Anna membuka pintu rumah setelah mengucapkan salam, membanting dirinya ke sofa karena lelah. Benar-benar liburan yang melelahkan karena seharian ini terlalu banyak melibatkan perasaan.
Ayash keluar dari kamar, pemuda itu mengenakan kaos abu-abu dipadu celana pendek selutut. Tadinya Ayash hendak ke dapur untuk makan. Namun, ketika melihat adiknya sibuk bermain ponsel di ruang tengah, Ayash mengurungkan niat tersebut.
"Baru pulang?"
Ayash menghampiri adiknya dan duduk di sebelah Anna, gadis itu tidak menoleh sedikit pun masih sibuk dengan ponselnya mengecek banyak pesan yang masuk.
"Iya, dari rumah calon pengantin," jawabnya singkat. Entah lelah atau karena dia bosan membahas hal ini.
Ayash tersenyum mendengar jawaban sang adik. Dia tahu sekali ada banyak hal yang ingin Anna ceritakan, ada banyak beban yang ingin Anna luahkan, tapi gadis itu memilih diam, enggan merepotkan Ayash dengan segala rengekannya mengenai masa lalu.
"Ann, saat diuji dengan masalah, atau hatimu hampir mengalah. Jangan takut, ada Allah tempat berpasrah, jangan putus asa, ada Allah tempat mengantungkan semua asa. Kamu pasti tahu peribahasa habis gelap terbitlah terang. Habis hujan muncul pelangi. Tidak ada beban tanpa pundak, tak ada ujian yang tak sanggup dihadapi. Semua atas izin Allah."
Anna berhenti memainkan ponselnya, gadis itu melirik Ayash yang sejak tadi memasang senyum paling manis.
"Jodoh itu cerminan diri kita. Jika kita menginginkan yang terbaik perbaikilah diri kita menjadi lebih baik, Allah tau bagaimana Dia mengatur rasa, serahkan saja semua pada-Nya. Di saat waktunya sudah tepat dan kita sudah siap untuk menerima jodoh terbaik-Nya, tak ada satu hal pun yg bisa menghalangi. Sakinah mawaddah warahmah tidak didapat dengan mudah, kita harus belajar mendalami lautan ilmu terutama tentang masalah pernikahan jika itu impian kita. Karena pernikahan bukan hanya pelampiasan masalah biologis tapi lebih dari itu. Dan tentunya kita berharap pasangan kita nanti adalah partner hidup kita dan pasangan di Surga-Nya nanti."
Anna berdehem. Sungguh kalimat yang lumayan menyesakkan. Hal terakhir yang ia rasakan adalah malu. Malu karena terlalu berharap.
"Aku sudah menghapus gambar-gambar, suara, pertemanan atau sebisa diriku menjauh, tapi mungkin Aa lupa, masa lalu itu hidup dalam ingatan dan Anna tak bisa memaksa untuk melupakan semuanya."
Sungguh, dia pernah memiliki harapan agar Fadhil kembali. Namun, harapan itu sirna ketika Anna menyadari bahwa akan ada hati yang lebih terluka tersebab harapan yang dia ciptakan.
"Tapi rasanya aku bodoh ... terlalu larut dalam luka hanya akan membuatku sulit mengikhlaskan kepergiannya. Mungkin Allah telah cemburu padaku hingga menciptakan luka sesakit ini, mungkin Allah telah menegurku untuk tidak mencintai insan-Nya melebihi cintaku kepada-Nya."
Ayash tersenyum mendengar isi hati sang adik. Dia berharap kalimat itu murni keluar dari lubuk hati yang terdalam bukan hanya sekadar untaian dari lisan.
Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki, semua ada masanya. Luka akan sembuh seiring waktu berjalan. Jangan menyerah hanya karena patah.
Ayash tersenyum samar. "Nanti kau juga akan dipertemukan oleh-Nya. Entah kapan waktunya. Namun saranku, jangan menikah hanya karena patah. Menikahlah karena ibadah. Jika hatimu belum sepenuhnya sembuh, jangan memaksakan diri untuk kembali mencintai."
Pemuda itu langsung bangkit dari sofa, berlalu begitu saja membiarkan Anna sendirian. Mungkin Ayash ingin adiknya mampu memaknai. Bahwa cinta tidak selamanya menyakitkan hanya karena bertepuk sebelah tangan.
Karena hakikatnya cinta adalah menyembuhkan. Jika kau masih saja terluka karenanya, itu karena kau meletakan hati pada orang yang salah.
Dia harus melupakan
Dia harus mengikhlaskan
Dia harus mengahapus rasa----
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Spiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...