Malam ini sudah larut, tapi Hikam masih terjaga karena ia tidak bisa tidur.
Hikam masih mengingat acara khitbah kemarin. Wajah manis calon istrinya masih terekam jelas dalam ingatan, sosok shalihah dengan senyuman manis itu menerima lamarannya.
Lelaki itu berharap bukan mimpi. Ada banyak alasan kenapa Hikam lebih memilih menjatuhkan hati pada satu wanita yang dikenalnya secara tidak sengaja. Ya, jodoh memang unik.
Hikam meraih ponsel di sebelahnya, beberapa kali mengurungkan niat untuk menghubungi Anna hanya untuk memastikan apa gadis itu sudah tidur atau belum. Namun, sekali lagi ia berusaha menguatkan tekad.
Dengan mengumpulkan keberanian, Hikam pun menyasar pada kontak, kemudian mencari nomor Anna yang tertera di sana. Hikam tak tahu pasti apa yang membuatbya sampai senekat ini.
"Asalamu'alaikum, Mas?"
Suara lembut di seberang sana memecah keheningan malam. Debaran jantung Hikam makin tak stabil dibuatnya. Padahal sebelumnya dia baik-baik saja.
Apakah karena Hikam tengah jatuh cinta?
"Walaikum'salam ... kamu belum tidur? Ini sudah malam," tanya Hikam sedikit mencairkan suasana.
"Aku tidak bisa tidur, Mas, Mas Hikam kok belum tidur juga?"
"Aku merindukanmu."
Ingin sekali dia mengatakan itu. Namun, yang keluar hanya kalimat. "Sama, aku juga tak bisa tidur."
Jawaban Hikam sukses menciptakan tawa kecil dari gadis itu, Hikam ikut tersenyum mungkin semuanya terlalu mendadak.
"Terima kasih, ya. Terima kasih sudah memperjuangkanku dengan cara yang berani."
Hikam tersenyum mendengar kalimat Anna, menenangkan. Sebelum jadi istri saja dia sudah meneduhkan, apalagi jika benar-benar hidup bersamanya.
"Sebelumnya, aku pernah menyerah untuk memperjuangkanmu. Namun, semua keletihan perlahan menghilang karena pada akhirnya rinduku terbalas."
"Karena itu terima kasih."
"Untuk sementara, kita dipisahkan jarak dulu, ya."
Anna terkekeh. "Jangan menyalahkan jarak. Ini bukan sesuatu yang membuat kita jauh, tapi kitalah yang membuatnya agar kita mengerti apa arti saling merindukan, saling mendoakan, juga saling merajut kesabaran."
Anna pun sama, di seberang sana dia sedang berusaha untuk tidak canggung. Menyadari bahwa pria ini sebentar lagi akan berubah status menjadi sang suami.
"Apakah ada sesuatu yang kau sadari?" tanya Hikam.
"Ya ada." Anna menghela napas sebentar. "Kamu tak sabaran," kekehan itu terdengar lagi.
Hikam senyum-senyum sendiri, memang dia terkesan tidak sabar untuk segera menjadikan gadis itu sebagai istrinya.
"Maaf, aku yang terlalu dekat dengan doa. Namun, jauh dari rasa sabar.
Rasa yang tergesa-gesa dan harapan yang ingin segera nyata meletup tanpa bisa aku kendalikan dan pahami. Namun, aku pasti akan bersabar sekali lagi, demi bersamamu aku akan bersabar sekali lagi."Hikam tidak pernah tahu, jika di seberang sana itu sedang tersenyum manis mendengar untaian kalimat darinya.
Itu bukan gombalan belaka, itu adalah isi hatinya karena untuk beberapa hari ke depan mereka akan jarang saling mengabari. Hikam punya kesibukan begitu pun Anna.
Jadi, tidak ada salahnya melepas penat dan kerinduan dengan mendengar suaranya sebentar saja, kan? Hikam hanya bisa berharap Allah menyegerakan waktu agar sampai pada saat yang dituju.
"Sekarang tidur."
"Mas duluan."
"Langsung tidur."
"Dih, ngatur." Anna tertawa.
Hikam tak ingin segera menutup sambungan telepon karena masih ingin mendengar suara calon istrinya. Namun, mengingat besok dia banyak tugas yang harus diselesaikan, mau tak mau Hikam mengakhiri obrolan.
Meletakkan ponsel di meja nakas kemudian membaca doa. Semoga Allah selalu menjaga dirinya dan bidadarinya dalam perjalanan menuju ridha-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Espiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...