Chapter 20

47.3K 3.1K 20
                                    

***

Mata gadis itu membulat seketika begitu tatapannya beradu pandang dengan seorang pemuda berpeci hitam dengan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat gagah dan semakin tampan.

Sebenarnya Hikam sudah lama merencanakan acara lamaran ini. Namun, mengingat Anna yang masih terpuruk karena masa lalunya, akhirnya Hikam hanya bisa menunggu sampai hatinya kembali terbuka.

Tatapan Hikam tidak lepas dari sosok gadis berjilbab biru yang sejak pertama kali memasuki ruang tamu dengan anggun sampai mereka beradu pandang seperti sekarang. Senyuman Hikam terukir dan Anna langsung menunduk merasakan jantungnya mulai berdebar tidak normal.

Hikam pikir, Anna begitu tenang menghadapinya jika Anna berusaha menahan debaran jantungnya, maka Hikam berusaha mengatur pias di wajahnya agar tak terlihat sepucat mayat jika saja menerima penolakan.

Apakah ini rasanya melamar seorang gadis? Sampai-sampai Hikam lupa cara bicara dan mendapat gempa bumi dadakan.
Apakah itu artinya Hikam jatuh cinta? Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Dan semoga juga untuk yang terakhir kalinya.

"Jadi putra bapak ini yang mau melamar putri kami?"

Ayah Anna bersuara, membuat kedua orang itu menunduk kembali. Luthfi--Abi Anna--menatap gerak-gerik Hikam, membuat nyali Hikam menurun.

Tapi, bismillah semoga Hikam bisa menunjukan keseriusannya pada orang tua Anna, karena Hikamlah yang meminta semua ini.

"Saya ke sini bersama orang tua saya dengan maksud baik. Kalau pun ternyata hasilnya tidak sesuai harapan kami ...."

Ada jeda sekejap dalam luncuran kalimat Hikam barusan. Membuat Anna menahan napasnya sendiri.

"In syaa Allah saya sabar kalau saya tidak berkenan menjadi jodoh Anna," ujar Hikam lamat-lamat.

Anna luar biasa kagetnya. Pemuda yang sempat mencuri perhatiannya, kini memperjuangkannya dengan cara yang berani.

Take it, or leave it.

Anna memejamkan mata, menunggu ayahnya menanggapi pernyataan Hikam yang menurutnya terkesan terburu-buru. Dalam hati Hikam berdoa semoga Allah membukakan pintu hatinya.

"jadi, Anna ... apakah kamu mau menerima Hikam?" tanya sang Abi pada Anna. Ayahnya takkan mungkin memaksa putrinya, toh. Semua tergantung Anna juga.

Anna menunduk sembari memainkan jari jemari lentiknya.

"A-anu ... bukannya Anna meragukan keseriusan mas Hikam. Namun, apakah Mas Hikam bersungguh-sungguh dengan lamaran ini?"

Hikam menaikkan satu alisnya, apa maksud gadis itu? Jika dia tidak bersungguh-sungguh, mustahil Hikam akan membawa serta keluarganya untuk mengajukan lamaran.

"Bukti kesungguhanku padamu adalah dengan melamarmu dan aku tidak berani menjanjikan kekayaan dalam perjalanan kita nanti, sebab harta itu milik Allah, bukan milikku. Aku takut menjanjikan surga sebab surga itu punya Allah. Aku takut menjanjikan kenyamanan dan ketentraman sebab semua itu adalah nikmat Allah. 

Aku hanya menjanjikan untuk mengajak berjuang bersama dan tidak lelah menemani, mengingatkan bila lalai, dan melindungi bila ada marabahaya. Meski pada akhirnya kita sama-sama menyadari bahwa kemudahan kita dalam beribadah, berupaya, dan berjuang itu atas pertolongan Allah."

Semua pasang mata menatap Hikam dengan tatapan teduh, aura di ruangan tersebut terasa berbeda. Keringat mengucur deras di pelipisnya, padahal ruangan ini tidak panas.

Lama Hikam menunggu kepastian dari Anna, Hikam mulai takut sendiri. Tapi, semua sudah Hikam serahkan pada-Nya. Karena Allah Maha pembolak-balik hati.

Hikam was-was menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Anna. Pemuda itu sudah menyiapkan tekad sekuat baja jika saja mendapat penolakan.

"Baiklah, khayran in syaa Allah, semoga Allah ridho akan itu," jawab Anna pelan, namun suaranya mampu terdengar jelas.

Semua yang ada di sana langsung membisu. Hikam yang sejak tadi menunduk langsung mengangkat pandangannya pada Anna yang diam-diam mengukir senyum.

Alhamdullilah!

Hati Hikam bersorak senang, Hikam bersyukur dalam hati berkali-kali, ingin rasanya bersujud syukur atas semua yang terjadi. Seluruh keluarga yang hadir berucap syukur.

"Ciyee, pantes kemarin tanya-tanya soal pernikahan. Ternyata nyalip beneran," Ayash mengejek, Hikam tertawa menanggapi ejekannya. Keduanya ber-tos ria.

Hikam mengeluarkan kotak beludru berwarna merah dari sakunya, membukanya perlahan. Cincin permata itu berkilau ketika Hikam mengeluarkannya dari sana.

Amira--Ibunda Hikam-- meraih cincin yang ada di tangan putranya, lantas meraih jari jemari Anna, cincin itu terlihat pas sekali di jari manisnya cincin itu kini telah menemukan tempatnya pulang, dan Hikam yang telah menemukan tulang rusuknya yang hilang.

Hikam menatap gadis itu sekali lagi, menyalurkan rasa bahagianya lewat senyuman. Anna yang melihat itu ikut tersenyum juga namun dia kembali menunduk karena pipinya mendadak panas.

Hikam tertawa gemas.

Bidadari Bermata BeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang