Yang di Mulmed itu photo Hikam sama Bang Ayash.
---------
Dua Bulan kemudian..
Bakda dzuhur jam dua siang, Hikam tengah duduk bersama Ayash di teras masjid. Mereka tak sengaja bertemu usai shalat jumat tadi. Keduanya memilih beristirahat dulu sebelum kembali pulang ke rumah masing-masing.
"Akhirnya bertemu lagi setelah sekian lama tak ada kabar. Terakhir bertemu saat acara walimahan itu, 'kan?" tanya Ayash semringah.
"Iya benar, sering kemari? Kenapa aku tak pernah melihatmu, ya?"
"Aku numpang shalat di sini. Habis dari rumah Ustadz Dzaki."
"Oh, ya." Ayash mengangguk paham.
"Kelihatannya sekarang sudah nemu calon, ya? Bahagia gitu, hahaha ...." Ayash tertawa membuat Hikam salah tingkah.
"Enggak sih, hanya perasaan semu biasa," jawab Hikam, "menurutmu, apakah jatuh cinta itu salah?"
Ada sedikit rasa geli ketika Ayash mendengar kalimat itu dari mulut Hikam. Dia pikir Hikam itu tak pernah jatuh cinta.
"Jatuh cinta tidak salah, karena itu juga fitrah. Tapi, apa perlu rasa di hati kau akui?"
"Bukankah cinta itu membuktikan bukan hanya dipendam saja?" tanya Hikam.
"Jika kau benar serius, datangi walinya. Jangan mendatangi anaknya. Jika kau belum mampu untuk menikahi, Cukuplah kau simpan dulu rasa di dalam hati."
Hikam nyengir, gigi-gigi putihnya sampai terlihat. "Niat gue gitu. Dari pada zina, mending nikah."
"Menurutku masih salah. Cara terbaik menjauhkan diri dari zina itu bukan menikah, tapi meninggal, yang nikah aja masih bisa lirik sana-sini, 'kan?" kata Ayash.
"Ya, masa kudu mati. Saya masih jomblo, ingin nikah dulu lah," tawa Ayash dan Hikam berderai.
"Ya, bismillah dulu aja. Yakinkan walinya, buatlah walinya mampu menerimamu. Kalau merasa diri sudah sanggup untuk menikahi, ya mangga atuh."
"Entahlah, aku sedang memantaskan diri agar kelak pantas bersanding dengannya."
Ayash tergelak. "Haha ... mungkin hanya doa yang bisa menyatukan kau dan dia. Entah itu kau berjodoh dengannya atau tidak, ikhtiar saja dulu."
"Menurutmu, apakah aku cukup baik untuk bersanding dengan gadis berhati seperti bidadari?" Ayash mencium bau-bau pesimis di diri Hikam.
"Dengar dulu sobat," ujar Ayash. "Perempuan berhak memilih. Karena perempuan adalah makmum. Ia akan senantiasa mengikuti Imamnya, sebab perempuan hakikatnya dibimbing. Karena itu mereka tidak boleh salah memilih pemimpin.
Jika memang benar, seorang laki-laki mengerti agama, mengerti akan tanggung jawab sebagai suami, maka ia pun akan mengerti cara membimbing bagaimana pun sifat perempuan yang ia bimbing. Sebab laki-laki hakikatnya membimbing bukan 'dibimbing'. Satu lagi, wanita yang baik akhlaknya takkan melihat hartamu atau tingginya kedudukanmu. Dia akan menerima semua kurang-kurangmu."
Hikam tersenyum mendengar penuturan Ayash. Ternyata banyak hal yang masih belum dikuasai olehnya, termasuk nasihat Ayash barusan.
"Kau mau menikah memangnya?"
tanya Ayash heran, karena melihat Hikam senyum-senyum sendiri."Ah, entahlah."
"Jika itu memang benar kau akan menikahi seorang wanita. Jadikan cinta itu bukan sebatas cinta di dunia. Namun, cinta hingga surga. Tuntunlah dia. Bawa dia hingga ke JannahNya. Bersama mengukir cinta
Yang semata-mata hanya karena Allah Subhanahu Wata'ala."Ayash ikut tersenyum, ia menepuk bahu sahabatnya. Meski Ayash tahu apa yang sedang di pikirkan Hikam, namun ia tak bertanya lebih jauh, sebab itu bukanlah urusanya.
"In syaa Allah, terima kasih banyak, Yash."
Ayash tersenyum ramah. "Sudah tugas kita untuk saling membantu, bukan?"
"Kau belum ada keinginan untuk menikah?" tanya Hikam.
Ayash menggeleng, "aku ingin fokus dengan pendidikanku dulu. Setelah itu kerja, aku ingin mencari ilmu sejauh-jauhnya."
"Mantap!"
Ayash terkekeh mendengar kalimat Hikam barusan. Hikam benar-benar kagum pada Ayash. Sejauh ini, laki-laki itu tak pernah sekali pun membahas soal wanita di hadapannya. Ayash begitu fokus dengan pendidikannya. Sosok yang baik memang.
"Dua bulan lagi aku wisuda. Minta doanya, ya."
Hikam mengangguk. "Aamiin, semoga Allah selalu melancarkan segala urusanmu. Setelah ini kau akan ke mana?"
"Kerja, tapi bukan di Indonesia."
"Ke luar Negeri?"
"In syaa Allah."
Hikam merubah posisi duduknya. Suasana di sekitar masjid memang adem. Keduanya masih betah mengobrol, tak terasa waktu berlalu dengan cepat.
"Bagaimana denganmu? Sudah kerja?" tanya Ayash. Hikam menggeleng.
"Aku kerja di rumah. Ngurus pondok Abah."
"Wahh." Ayash takjub. "Putra kyai rupanya, pantes ada aura tawadhunya."
Hikam tergelak mendengar kalimat Ayash. "Hey, itu mah kau."
Tawa kedua laki-laki itu berderai.
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Espiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...