Seminggu sudah berlalu.
Setelah berhasil melewati setiap purnama sendiri dan menjadi ceria kembali. Anna banyak menghabiskan waktu di sekolah agama. Menyibukkan diri dalam kebaikan daripada berlarut-larut dengan perasaan.
Ia merasa sudah tidak ada gunanya lagi berharap. Toh, semuanya sudah usai.
"Asalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh!" seru anak-anak santri itu serempak.
"Waalaikum sallam warrahmatullahi wabarakatuh. Sudah waktunya pulang yaa, nanti jangan lupa bantuin orang tua di rumah."
Anak-anak itu mengangguk serempak, lalu berhamburan mencium tangan guru mereka sebelum pulang.
Anna belum kembali ke Pesantren. Dia ingin menenangkan diri di tempatnya terlebih dulu, Anna tak mau kembali ke pondok dengan membawa patahan hati yang berhamburan. Itu hanya akan membuatnya tak betah dan berlarut-larut terlalu lama.
Tidak ada yang harus diungkit lagi. Fadhil sudah bahagia, Alika juga.
"Asalamu'alaikum."
Suara yang sangat familier itu membuat kegiatannya membereskan buku terhenti. Perasaan Anna tak enak, aura di sekitarnya berubah.
Dengan ragu, ia melirik ke arah pintu masuk, dan di sana berdiri seorang lelaki yang dulu senyumnya membuat debaran di dada. Tentu, ketika bersusah payah melupakan, dia datang dengan sejuta kebutuhan.
"Anna, kau ada waktu?"
Anna paham maksud kalimat Fadhil barusan, tapi di posisi seperti ini mana bisa Anna mengiyakan ajakan Fadhil, yang di depannya saat ini bukanlah Fadhil yang dulu, yang selalu membuatnya tertawa. Fadhil yang kini sudah menikah.
Kelas juga sepi, hanya ada mereka berdua di sana. Anna tak mau terjadi fitnah. Ketika dirinya susah payah melupakan dan ketika sudah mencapai titik mengikhlaskan, Fadhil kembali datang tanpa rasa bersalah.
Dasar egois.
"Maaf, Anna sibuk, Kak."
Anna mencoba tenang dan tidak mengambil keputusan secara gegabah, Anna telah menempatkan perasaan pada orang yang salah, dan ia harus segera mengatur perasaannya lagi. Ia tak boleh kembali terluka hanya karena hatinya sangat mudah menerima rasa. Ia sudah enggan merasakannya.
"Sebentar saja."
"Anna sibuk. Apa Alika ke sini?"
"Tidak, dia tahu aku ke sini. Namun, tidak ikut."
"Kenapa?" tanya Anna memperjelas.
"Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu, Anna."
"Tidak," sahut Anna cepat. "Tidak sekarang, tidak juga di sini. Kau sudah menikah, Kak. Mengertilah."
Anna mengembuskan napasnya pelan. Jangan, jangan ada lagi air mata yang jatuh.
"Anna, aku minta maaf," kata Fadhil akhirnya.
Anna menahan diri untuk tidak memaki saat itu juga. Kenapa tidak dari dulu Fadhil menyadari perasaan Anna kepadanya, kenapa harus sekarang?
"Jangan pikirkan aku, Kak. Kebahagiaanku adalah melihat kalian bersama. Jadi, berhenti merasa bersalah. Tak ada yang harus disalahkan di sini," jawab Anna sesak.
Fadhil terdiam cukup lama. Entah apa yang dipikirkannya. Namun, dia merasa tidak berhak untuk kembali hadir di kehidupan Anna. Fadhil sudah bahagia dengan pilihannya sendiri dan apakah tak ada celah bagi Anna untuk bahagia saat ini.
"Untuk semua perasaan yang kau tanamkan padaku, maaf aku tak secepat itu menyadarinya."
Anna mengangguk mengerti. "Aku mengerti, tapi ... itu semua hanya masa lalu. Dulu mungkin aku pernah terluka sampai menangis karenamu. Dulu mungkin aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Namun, kini semua berbeda, ada fase di mana aku harus melupakan perasaan itu dengan segera. Semoga kamu menyadarinya."
Fadhil diam.
"Dulu mungkin aku marah pada-Nya. Mengapa aku dipisahkan denganmu, tapi kini aku tahu, Allah ciptakan perpisahan, karena sejatinya jika memang tak berjodoh, kita takkan pernah dipersatukan, itu saja."
Gadis itu tersenyum. Senyum yang dipaksakan, senyum yang penuh dengan kebohongan.
Bagaimana pun, dia harus terlihat bahagia. Semua rasa sakit yang dialaminya adalah risiko dari harapan-harapan yang terlalu melangit. Hingga kenyataan menghempaskan dengan teramat sakit.
"Lucu sekali rasanya, aku tak pernah membayangkan akan dicintai setulus itu olehmu, Anna." Fadhil berusaha sedikit mencairkan suasana.
"Iya, tapi itu dulu."
"Kau masih marah padaku?"
"Tidak," jawab Anna. "Kenapa aku harus marah. Toh, pernikahan itu bukan rencana Kakak dari awal, 'kan? Ustadz Ilyas yang menjodohkan kalian."
Fadhil bergeming, lelaki itu kehabisan kata-kata. Bagaimana cara menjelaskannya tanpa membuat gadis itu terluka?
"Ada yang lebih baik dari sebuah merelakan, salah satunya adalah aku memaknai kata ikhlas. Tenang saja, kita tidak menjadi asing, dan tentang aku yang mengharapkanmu, tenang saja. Aku tidak melulu memintamu menjadi takdirku, aku hanya meminta dengan siapa pun kamu, semoga bahagia selalu menyertaimu."
Fadhil terperangah mendengar sederet kalimat Anna barusan. Gadis itu benar-benar mencintainya dengan tulus. Namun, tidak ditakdirkan bersama.
----
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Espiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...