Chapter 25

41.7K 2.6K 7
                                    

"Dik, ayo masuk." Ayash mengajak Anna untuk kembali ke dalam rumah. Sebenarnya Anna masih betah menikmati udara pagi. Namun, akhirnya dia menurut juga.

Ring ... ring ....

Ponsel Anna berbunyi, Anna merogoh saku piyama yang ia kenakan, nama Hikam tercetak di layar ponsel. Hikam meneleponnya sepagi ini?

"Asalamu'alaikum, halo?"

"Wa'alaikum'salam, sudah bangun? Ganggu tidak?"

Anna kembali menduduki bangku kayu di sebelahnya desiran angin semakin kencang saja.

"Sudah, Anna sedang di halaman rumah, ada apa Mas nelepon Anna pagi-pagi begini?"

"Hm, itu."

"Ya?"

"Mas mau pamit."

Gadis itu memainkan ujung jilbabnya dengan tangan kiri, sedang tangan kanan memegangi ponsel. Hal yang sering ia lakukan jika tengah gelisah, apakah Anna gelisah dengan kepamitan Hikam?

"Mau ke mana?"

Terdengar suara kekehan di seberang sana, mungkin suara Anna terdengar lucu bagi Hikam. Padahal Anna sedang serius menyimak.

"Ke Jakarta. Mas ada perlu dengan keluarga di sana, sebentar lagi kita akan menikah. Mas ingin bersilaturahmi dulu."

"Berapa lama?"

"Mungkin seminggu."

"Lama sekali."

Hikam terkekeh lagi, "Mas juga ditunjuk sebagai pembimbing di sana. Tidak apa-apa, ya. Lebih baik menyibukkan diri sebelum pernikahan."

Anna menghela napas mendengar Hikam selalu saja membahas pernikahan. Apakah Hikam sebegitu ngebetnya hidup bersama Anna sekarang?

"Baik, tapi Mas harus kembali."

"Berangkat saja belum," ledeknya, "kalau benar-benar tak kembali bagaimana?"

"Mas!"

Kali ini Anna tak main-main. Pikirannya mendadak tak enak namun berusaha tetap tenang. Husnuzhan adalah cara terbaik untuk membuatnya tenang. Yakin semua akan baik-baik saja.

"Iya, Mas pasti pulang, doakan aku, Neng."

"Hih, gombal!"

"He he." Hikam tersenyum jenaka.

***

Waktu berlalu dengan cepat, membawa seorang pria berusia 27 tahun itu pada kesibukan yang tiada akhirnya.

Pria itu beberapa kali mengecek keperluannya takut ada yang ketinggalan, padahal sudah lebih dari sepuluh kali dia bolak-balik memeriksa barang bawaannya. Repotnya Hikam persis perempuan.

"Udah selesai, Gus?"

Rafa masuk ke dalam ruangan Hikam, dia berkacak pinggang memperhatikan sahabatnya yang masih saja repot mengecek isi tas. Padahal Rafa yakin, Hikam sudah memasukan segala hal yang diperlukannya. Hikam bukan orang yang ceroboh ia terlampau apik menurutnya.

"Aku merasa tak enak. Seperti ada yang tertinggal tapi entah apa."

"Ck," Rafa berdecak, "Anna yang tertinggal di sini, Kam."

Hikam ngakak mendengar kalimat Rafa, "kau tahu? Saat ini aku sangat ingin memasukannya ke dalam tas."

"Kau berangkat dengan mobil pribadi, tapi kau malah ingin memasukannya ke dalam tas." Rafa duduk di atas kasur sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya.

"Kupikir, aku terlalu buru-buru dan tak sabar. Gadis itu galak tidak pernah mengizinkanku yang gemas untuk menjitak kepala dan menoel hidung mancungnya. Tidak. Sekalipun dalam hayal, tidak diizinkan."

Hikam ikut duduk di sebelah Rafa. Menceritakan banyak hal tentang Anna padanya, bahkan bidadari pun mungkin saja cemburu jika nama Anna yang selalu saja keluar dari mulut Hikam. Pemuda itu benar-benar jatuh cinta padanya.

"Bagaimana bisa kau begitu mencintainya, padahal kau belum mengetahui sifatnya secara utuh," kata Rafa di akhir cerita Hikam.

"Awalnya aku memang tak begitu tertarik dengannya. Namun, peristiwa di taman waktu itu membuat hatiku tergerak untuk memilikinya, yang pasti semua perasaan ini adalah ketentuan-Nya, Raf. Dan aku hanya bisa menerimanya."

Rafa tersenyum mendengar kalimat Hikam. Selaku sahabat, baru kali ini dia melihat Hikam begitu menggebu-gebu urusan perasaan. Sebelumnya Hikam adalah pribadi yang cuek pada setiap wanita. Rafa hanya mampu menyimpulkan kalau Anna sudah pasti adalah gadis luar biasa yang mampu mencairkan kebekuan hati sahabatnya.

"Jadilah suami yang baik. Semoga anakmu nanti tak menyebalkan juga sepertimu," lirih Rafa sembari menahan tawa.

Bidadari Bermata BeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang