***
Anna menunggui calon suaminya itu sembari berdzikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Rasulullah. Air matanya tak henti menetes, melihat tubuh lemah Hikam yang sangat memprihatinkan.
Pipi kiri Hikam berdarah, tangan kirinya juga berdarah, juga kaki kiri Hikam, ada selang kecil yang di masukan ke tangan kanan Hikam,
Sebuah alat pendeteksi detak jantung di samping ranjang.Ia terus berdoa kepada Allah. Orang yang ia sayangi itu kini tengah terkulai tak berdaya dengan beberapa bagian tubuh terkoyak dan berdarah. Mata Hikam masih tertutup rapat dan sudah beberapa jam ia belum siuman, Ummu Hikam yang lebih dulu melihat kondisi anaknya tak kuasa menahan tangis, Hikam adalah putra tunggal sebentar lagi hari bahagianya. Namun secepat itu musibah mengacaukan semuanya.
Memang benar. Manusia adalah perancang yang baik, namun Allah adalah penentu terbaik.
Ia kembali mengalihkan pandanganya pada Hikam yang belum sadar di ranjangnya.
"Mas ... bangun! Kita akan menikah, apa mas mau tidur terus seperti itu?" lirihnya pilu, tak ada sahutan dari Hikam. ia masih setia dengan mata terpejam.
Wajah Hikam pucat dengan pipi memar. Sedang terpejam saja Hikam luar biasa tampan, namun tidak sekarang. Wajah itu malah membuat Anna takut, takut jika Hikam takkan bisa membuka matanya lagi.
Ia masih teringat saat pertama Hikam datang ke rumahnya, lalu menyatakan cintanya itu di depan Abinya. padahal Anna dan Hikam baru kenal beberapa minggu. dan Anna baru menyadari betapa tulusnya sosok lelaki di hadapannya ini.
"Jika rasamu mulai luntur, tetap ingatlah aku sebagai wanita yang pernah menyayangimu. Bukan wanita yang menyakitimu lalu baru menyadari betapa tulusnya dirimu waktu itu," lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
Ruangan berwarna putih itu nampak sunyi hanya ada suara pendeteksi jantung yang berbunyi di sana, semuanya terasa hening. Hanya suara lantunan dzikir yang masih setia dilantunkan oleh Anna demi kesembuhan calon suaminya, Hikam belum ada tanda-tanda akan sadar, Anna semakin sesak dibuatnya.
"Hei ... kamu masih di sini."
Suara berat dari arah pintu menyadarkan Anna dari lamunannya. Dilihatnya Ayash masuk ke dalam ruangan setelah ia kembali menutup pintu.
"Jangan bersedih. Kuatkan hatimu, Anna. Hikam akan baik-baik saja. ia lelaki yang kuat. Aa tahu itu.''
Anna tersenyum menanggapi ucapan kakaknya, meskipun itu tak sepenuhnya mengobati kegelisahannya, namun cukup membuatnya benar-benar yakin bahwa Hikam akan baik-baik saja dalam penjagaan-Nya.
"Hikam belum ada tanda-tanda akan sadar?" tanya Ayash.
"Entahlah. Kata dokter, jika sampai besok dia belum sadar, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang," jawab Anna dengan senyum yang sedikit di paksakan.
"Kuharap ia akan segera sadar, kmau sudah makan, dik?"
Anna menggeleng. "Nanti saja. Anna tak lapar sekarang. Bisakah Anna menunggui Hikam di sini?"
"Baiklah. Tapi jangan sampai tak makan."
Anna hanya mengangguk pelan mengiyakan, Ia kembali fokus pada Hikam yang masih memejamkan matanya tanpa tahu apa yang sedang dirasakannya.
◆ ◆ ◆ ◆ ◆ ◆
"Kitab kuning udah, buku terjemahan udah, buku tulis udah, peralatan menulis udah, apalagi yang belum ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Espiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...