Chapter 3 : Pelajaran Dari Ayas

71.8K 3.9K 106
                                    

"Uhukk..Uhukk..!!"

Anna masih terbatuk-batuk sementara Alika menepuk-nepuk punggungnya karena khawatir, rasa sesak di dada ana belum sepenuhnya pulih begitupun ketika mendengar perkataan Alika barusan.

"Anna kau tak apa-apa?"

"A-aku tak apa-apa. hanya tersedak," jawab Anna setengah menahan batuknya.

Dadanya sakit, namun hatinya sakit juga ikut sakit.

"Yakin gak apa-apa, Na?"

"Iya."

Anna berusaha mengatur Napasnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Sembari menyiapkan stok kesabaran kuat untuk menghadapi curahan hati Alika selanjutnya.

"Jadi gimana ya, Na? Aku harus bagaimana?'' Alika memulai kembali ceritanya, mau tak mau Anna pun harus mendengarkannya.

Anna terdiam, ia harus benar-benar bisa menguasai perasaanya.

Dadanya sesak, orang yang ia cintai lebih mencintai oranglain. Dan oranglain itu adalah sahabatnya sendiri, satu pesantren lagi, yaitu Alika.

Ada rasa nyeri yang menusuk-nusuk ulu hatinya, sakit dan pedih rasanya memedam rasa cinta memang menyakitkan.
Lebih menyakitkan lagi jika cinta itu tak kesampaian.

"Na, bagaimana ini?" Alika tidak sabar karena sejak tadi Anna hanya diam seolah tidak menanggapi ucapannya.

Anna tersadar. ia harus bisa menahan perasaanbya, ia merasa sangat jahat jika meminta kepada Alika untuk menolak lamaran itu, agar ia tidak kehilangan Fadhil.

Tapi jika Anna melakukan hal itu ia merasa seperti menikam temannya sendiri, ia harus benar-benar bisa menadan gejolak hatinya.

Akhirnya dengan sekuat tenaga setelah mencoba menahan beribu sayatan luka yang siap menghunus hatinya Anna menyunggingkan senyum.

"Masya Allah, kak Fadhil itu calon imam masa depan, itu pendapat Anna tapi semuanya terserah kamu, lebih baik kamu shalat istikharah dulu. Minta petunjuk sama Allah," jawaban Anna meyakinkan sekaligus menyakitkan.

Tapi Jauh di lubuk hatinya, rasanya seperti ada beribu-ribu paku yang menusuk-nusuk. Jangan tanya rasanya bagaimana? Itu sangat sakit.

Tidak berdarah tapi sakit.

Ia sendiri tak tahu kenapa hatinya perih dan sedih, padahal sejatinya Fadhil itu hanya Ustadznya dia juga hanya sekedar muridnya.

Alika menunduk mendengar jawaban itu, "entahlah, aku bingung."

"Anna mau bertanya, apa kamu mencintainya?"

Alika melirik Anna yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Wajahmu kenapa? Kok pucat begitu, Na?"

Alika menatap raut tak terbaca dari wajah sahabatnya itu, seakan ada hal yang tidak bisa di gambarkan di sana. Jelas sakit bagi Anna untuk mengungkapkannya. Rasanya seperti di tampar keras oleh kenyataan.

"Anna tidak apa-apa. Hey, kamu belum jawab pertanyaanku tadi."

Alika berdehem, "bisa dibilang aku menyukainya, aku hanya belum mengenalnya. Makanya Aku bertanya padamu, karena kau sendiri adalah salah satu murid yang dekat dengannya."

Anna pernah membayangkan. Cinta dalam diamnya akan berbuah manis layaknya Ali dengan Fatimah. Sayangnya ia lupa, ada Allah yang maha mengatur segalanya. Cinta dalam diam versinya tidak seindah yang pernah ia bayangkan.

Dan kenapa harus dirinya yang menjadi korban?
Meskipun ia dekat dengan Fadhil tapi bukan berarti hanya dirinya saja yang mengenal sosok Fadhil.

Lebih baik dia tidak mengetahui hal seperti ini, daripada harus berkorban banyak, mengabaikan perasaan sakit yang menembus hatinya demi menjaga perasaan satu orang yang di sayanginya.

Bidadari Bermata BeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang