Pilihan Demi Pilihan

47.6K 2.9K 12
                                    

Dua bulan sudah berlalu. Anna masih seperti biasa, sibuk dengan dunianya. Sibuk dengan rutinitasnya. Menjadi seorang yang baru dan ceria kembali selepas merelakan sesuatu yang paling berarti di hidupnya.

Dia tidak benar-benar sibuk, hanya berusaha menyibukkan diri. Kembali belajar di pesantren adalah jalan yang ia tempuh demi melupakan, sekaligus menentramkan jiwa. Meski bayang-bayangnya kadang menghapiri saat Anna sendiri. Namun, selalu dia tepis.

"Teh, gus Fadhil nikahnya sama temen teteh, ya?"

Anna tersenyum tipis mendengar beberapa temannya menanyakan Fadhil. Tidak di rumah, tidak di pesantren. Nama Fadhil seakan mendunia sehingga orang-orang selalu saja membahas nama itu di hadapannya.

"Iya, mereka serasi."

"Teh Anna, cemburu gak?"

Anna tecegang mendengar kalimat barusan. Namun, karena ia tahu itu hanya kalimat guyonan biasa, Anna tertawa.

"Biasa saja."

"Teteh pernah jatuh cinta, gak? Bagaimana rasanya mencintai tanpa mendapat balasan?"

Pertanyaan yang lumayan menohok. Cinta selalu menjadi topik utama setiap orang, ya? Begitu pun dengan Anna, hal itu malah menjadi topik nomor satu di peringkat sedih-sedihnya.

Anna tersenyum kecil. "Merelakan perasaan sendiri hancur demi melihat dia bahagia dengan pilihannya? Aku pernah, dan itu tak mudah, sungguh."

Asrama tempatnya mengobrol dengan santri perempuan mendadak hening. Entah karena kalimat Anna barusan itu masuk ke dalam hati atau karena memang sudah tidak ada pembahasan lagi.

"Siapa itu, Teh?" tanya seorang gadis berjilbab coklat yang sejak tadi menyimak obrolan.

"Bukan siapa-siapa," jawab Anna. "Hanya sebagian dari masa lalu yang sudah dilupakan."

"Pasti susah, ya, Teh. Apalagi kalau kita sudah terlanjur suka." Gadis berjilbab putih menyahut.

Bukan susah lagi. Tapi, semua itu sudah menjadi masa lalu sekarang, tak pantas lagi dibahas.

Anna bahkan berusaha sekuat mungkin untuk lari dari masa lalu itu. Cinta tidak harus memiliki, bukan?

Anna hanya berpikir mungkin Allah tidak mengizinkannya mencintai Fadhil. Bisa jadi dia pun takkan behagia jika bersamanya.

"Memang, tapi ada banyak hikmahnya. Sesuatu yang paling dijaga dengan hati, justru yang paling banyak menyakiti."

"Tapi kita tak bisa memaksa hati untuk berhenti mencintainya. Bukankah bagian terbaik dari cinta bukan tentang memiliki?"

Pemaparan gadis berjilbab coklat itu membuat Anna tersadar sepenuhnya. Dan kini ia mengerti mengapa Ayash berusaha menjauhkan Anna dari cinta yang semu, karena ternyata seperti ini rasanya jika sudah kecewa.

"Lyn, kau tahu apa yang paling menyakitkan dari cinta?"

Semua santri menatap Anna dengan sorot ingin tahu. Gadis itu bak pujangga dengan kalimat penuh diksi. Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu terangkai penuh arti.

"Ketika kamu sadar bahwa kamu takkan pernah bersama dia. Tapi, kamu tetap saja tak bisa menghentikan dirimu untuk terus jatuh cinta padanya."

Ruangan itu nampak kembali hening sekarang. Anna tersenyum dengan kalimatnya barusan, itu berlaku juga baginya. Tapi sekarang semuanya telah berakhir.

"Sudah, jangan membicarakan tentang hal itu lagi. Ayo belajar," Anna membuka bukunya sembari berusaha melupakan hal-hal yang baru saja singgah di pikirannya.

Bidadari Bermata BeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang