Tak terasa hari berlalu dengan cepat.
Rumah sederhana itu tampak berbeda dari biasanya. Tirai-tirai indah bergelayut rapi di langit-langit, perpanduan warna putih dan merah muda semakin mempercantik dekor tersebut. Halaman yang tak seberapa luas disulap sedemikian rupa, banyak bunga mawar indah menghiasi pilar-pilar bersama tenda yang menanungi.
Ini adalah hari yang sakral sekaligus spesial. Hari di mana Anna harus rela melihat pujaan hatinya bersanding dengan wanita lain. Tadinya gadis itu memutuskan untuk tidak ikut, dia tidak mau terlihat menyedihkan di mata Fadhil.
Akan tetapi, keinginan itu ditolak Ayash. Kakaknya tetap memaksa. Anna pun sebenarnya tidak enak hati jika tidak menghadiri acara istimewa sahabatnya itu.
Anna dan Ayash berjalan di atas karpet merah menuju kursi pelaminan. Di sana sudah ada Alika dan Fadhil yang sibuk menyalami para tamu. Gurat bahagia terlihat di wajah keduanya, Anna sedikit enggan berhadapan dengan Fadhil. Gadis itu seakan masih berat menerima kenyataan.
"Selamat, ya. Cantik."
Anna memeluk Alika ketika sudah berhadapan dengan kedua mempelai tersebut. Alika tampak cantik sekali mengenakan gaun pengantin berwarna putih dengan riasan make-up sederhana.
"Makasih yaa, cantik. Kamu juga cepet nyusul. Jangan ngejomblo terus." Alika membalas pelukannya.
"Anna, jangan nangis," kata Ayash ketika melihat mata adiknya mulai berkaca-kaca.
Alika melepas pelukannya dan melihat mata Anna mulai ditutupi embun bening. Gadis itu kembali memeluk sahabatnya erat.
Fadhil menatap sendu dua orang yang ada di hadapannya, setitik perasaan bersalah terbit. Bagaimana pun juga ia sudah menyakiti Anna. Fadhil tidak pernah berpikir kalau Anna mampu memendam perasaan padanya selama itu.
Kini Anna sudah berhadapan dengan Fadhil, gadis itu menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Kak Fadhil, selamat ya ... barakallah. Semoga samawa."
Fadhil tersenyum ramah. "Terima kasih."
Lelaki itu kemudian menundukkan wajah. Tidak berani menatap wajah Anna yang memerah menahan tangis. Semakin Fadhil melihatnya perasaan bersalah itu semakin besar.
***
"Ooh, itu yang namanya Fadhil, toh," kata Ayash di tengah kegiatannya menyendok menu ayam goreng yang tersedia di meja yang memanjang.
"Ganteng, ya? Hehe."
Kegiatan Ayash mengambil ayam goreng terhenti ketika kalimat itu meluncur bebas dari mulut adiknya.
"Gantengan Aa ke mana-mana."
"Ciyee, cemburuh."
Anna berjalan bersama Ayash menuju meja bundar yang disediakan di halaman rumah, tempat itu telah disulap menjadi tempat prasmanan para tamu.
"Gimana rasanya?" Ayash menatap wajah Anna yang tengah sibuk mengunyah nasi. Mendengar itu Anna menatap heran.
"Apa? Makanannya? Enak kok. Aa cobain deh, biasanya kalo lagi laper bisa abis satu panci tuh."
'Tak'
Satu jitakan melayang ke arah adiknya. Anna meringis, Ayash ini jahat sekali meskipun terlihat kalem dan dingin.
"Bercandamu itu lho, orang lagi serius juga." Ayash mengunyah nasi di mulutnya dengan perasaan sebal. Anna hanya tertawa.
"Iya, maaf."
Terlihat ceria di pernikahan mantan itu ujian. Mantan gebetan maksudnya.
"Permisi ...."
Kedua orang itu menoleh begitu seorang pemuda berpakaian rapi dengan tangan memegang piring jamuan tersenyum ke arah mereka.
"Boleh ikut duduk?" tanyanya. "Kursi yang lain sudah penuh. Itu pun kalau kalian mengizinkan."
Anna menatap Ayash, dan Ayash mengerti, ia tersenyum mempersilakan. Lelaki itu duduk di salah satu kursi di depan Anna.
"Terima kasih," kata lelaki itu ramah. "Oh ya, nama saya Hikam."
Lelaki bernama Hikam itu mengulurkan tangan pada Ayash.
"Saya Ayash, ini adik saya. Anna."
Anna tersenyum sambil menelungkupkan kedua tangan di depan dada. Hikam melakukan hal yang sama.
Hikam sedikit kaget dengan perkataan Ayash barusan, pemuda itu pun tertawa. "Saya kira kalian suami istri."
Ayash dan Anna tertawa pelan mendengar perkataan Hikam barusan. Apakah mereka memang terlihat secocok itu, ya?
"Umur kami hanya beda tiga tahun. Sudah biasa disangka suami istri." Ayash terkekeh. "Oh ya, saudaranya mempelai?"
"Pantes mirip kayak jodoh, hehe. Bukan, saya kakak kelasnya Alika."
Anna melanjutkan makannya tidak begitu tertarik dengan obrolan dua pemuda tersebut.
"Oh, sudah menikah?" tanya Ayash lagi.
Hikam tertawa menanggapinya. "Belum, tapi kalau adik Mas tidak keberatan jadi istri saya, boleh saja."
"Haaa.."
"Uhuk ... uhuk!"
Anna terbatuk-batuk setelah Hikam mengatakan hal barusan. Dua pria itu menoleh ke arahnya, Ayash menepuk-nepuk punggung Anna berusaha meredakan batuknya.
"Aish, maafkan saya, tadi itu hanya bercanda." Hikam meringis, sedangkan wajah Anna bersemu merah.
***
"Huh, digombalin ceritanya."
Sepanjang jalan ini Ayash tak hentinya tertawa mengingat kejadian tadi siang. Anna hanya memutar bola mata membiarkan dirinya jadi bahan olokan kakak laki-lakinya, tenggorokan Anna bahkan masih sakit.
Tapi, kenapa kalimat Hikam itu terasa nyata sekali di telinganya, aish! Apa yang Anna harapkan? Tentu saja selera Hikam sudah pasti bukan dirinya. Di banding Anna, bulu angsa saja masih lebih bagus.
"Aa, jangan bicarakan hal ini lagi. Anna malu." Gadis itu memegang pipinya yang mulai memerah.
Anna kira Hikam itu kalem, ternyata mulutnya berbahaya juga, ya. Baru kenal maen ceplos saja. Anna merutuk dalam hati.
"Akui saja kalau kamu suka." Ayash terkekeh.
"Semudah itu Anna jatuh hati?"
"Kamu kan punya Allah Sang Maha pembolak-balik hati."
Anna diam, berdebat dengan ayash tak ada gunanya. Laki-laki itu memang keras kepala, Anna lebih memilih untuk mengalah daripada melawan.
"Tapi Hikam itu ganteng, ya? Coba saja dia jadi suamimu."
"Aku yakin, kalau Mas Hikam mendengar Aa ngomong gini dia bakal sakit hati," sahut Anna enteng.
"Apa maksudnya?"
"Ditolak karena jelek itu sakit, tapi diterima hanya karena rupa jauh lebih pedih, A."
Kedua orang itu langsung tertawa.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Espiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...