Sudah seminggu Anna tidak ke luar rumah. Sekadar menghirup udara pagi atau menikmati kicauan burung di pohon pun ia malas melakukannya, yang ia lakukan seharian ini hanya bergelung dengan selimut. Anna keluar dari kamar hanya untuk salat dan makan, itu pun harus dipaksa terlebih dahulu.
Namun, pagi ini Ayash berhasil membujuk adiknya untuk keluar, ya. Meski hanya berjalan di taman komplek. Anna sulit untuk menolak, taman itu terasa menyakitkan baginya semenjak insiden waktu itu.
"Aa mau beli es krim. Kamu mau?"
"Boleh." Gadis itu mengangguk.
"Tunggu di sini, ya. Aa beli dulu."
Anna menurut. Selagi Ayash menghampiri salah seorang penjual es, gadis itu berjalan mengelilingi patung air mancur. Memperhatikan ikan-ikan yang berenang di sana, sesekali tersenyum begitu merasakan angin menerpa wajahnya.
"Anna?"
Sebuah suara familiar memanggilnya. Senyuman Anna luntur berganti dengan rasa cemas yang berkecamuk.
Pelan, gadis itu menoleh ke arah belakang dan mendapati Fadhil tengah tersenyum ke arahnya.
Anna menyesal sudah memenuhi ajakan abangnya hari ini. Pasti akan terulang kembali kejadian-kejadian pilu yang begitu menguras perasaan. Jujur, ia malas melihat wajah lelaki itu.
Namun, kenangan tentangnya masih menjadi candu. Anna masih mengingat, ia pun masih suka mengenangnya. Kadang menenangkan kadang menyakitkan.
"Anna?" tanya Fadhil sekali lagi.
"Oh, hai Kak."
Fadhil berjalan mendekati air mancur. Ikut memperhatikan ikan yang ada di sana. "Ke mana saja?"
"Ada. Kak Fadhil tumben mampir ke sini. Ada apa?"
Anna berusaha terlihat tenang. Ikhlas tak semudah jatuh hati. Ikhlas tak bisa hanya sehari. Ikhlas bukan soal terpejam kemudian lupa, ikhlas adalah soal bertemu. Namun, tak lagi merasa rindu. Mahal rasanya jika ada kursus untuk mengikhlaskan, pun belum tentu kita bisa lulus dan meneruskan hidup.
Cinta memang suka sesukanya, terlalu percaya, terlalu mudah diperdaya yang sulit untuk dilepaskan.
"Aku habis menyelesaikan urusan dengan Ustadz Ilyas, aku mampir ke sini untuk melepas penat."
Anna mengangguk. Sudah ia duga.
"Ke rumah Alika, ya?"
Fadhil terkejut. Pemuda itu melirik Anna, bagaimana mungkin Anna tahu. Dia kan belum pernah cerita sebelumnya.
"Kok tahu?"
"Apa sih yang tidak Anna ketahui darimu, Kak?"
Terdengar sok tahu, memang. Fadhil hanya tertawa menanggapinya.
"Alika pasti bahagia mendapat calon suami sebaik Kakak. Aku juga ikut bahagia, Kak."
Ada sesak dalam dada saat Anna mengatakan hal demikian, berusaha terlihat tegar itu susah sekali rasanya, ingin rasanya ia menangis. Namun, tak ada gunanya.
Memang benar, berjuang sendirian itu melelahkan.
"Alika yang cerita padamu, ya?"
"Begitulah."
Fadhil mengangguk paham. "Apakah Alika gadis yang baik."
Ada luka yang tak kasat mata di sana. Andai saja Fadhil tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Spiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...