Chapter 22

43.7K 2.5K 5
                                    

Hikam mengakhiri obrolann, Anna ikut mematikan ponselnya. Di tatap cincin yang terpasang di jari manis gadis itu. Sebulir air mata jatuh.

Anna menutup matanya. Bayangan wajah Hikam saat proses khitbah itu tergambar jelas. Anna bahkan tak percaya dirinya mau menerima lelaki itu untuk menjadi calon suaminya.

Anna menatap keluar jendela, hujan telah reda beberapa saat yang lalu. Menyisakan genangan air di jalan yang berlubang, tetesan air meluncur dari satu daun ke daun yang lain.

Ada rasa bersalah yang hinggap di pikirannya, suasana hatinya mendadak tak tenang. Ia menghapus lagi air mata yang tiba-tiba jatuh. Apakah dirinya benar-benar menerima Hikam?

Anna tak mencintainya. Rasa itu mungkin belum tumbuh di hatinya. Dia menerimanya karena barangkali itu yang terbaik, Anna tak bermaksud melukai hati siapa pun. Ia hanya butuh waktu untuk menerima.

Gadis itu seakan terombang-ambing dalam lautan kegelisahan. Seharusnya dia bahagia karena Allah sudah hadirkan seseorang yang benar-benar mencintainya. Cintanya takkan bertepuk sebelah tangan jika bersamanya. Tapi nyatanya, sebaik apa pun Hikam itu tidak juga membuat nama Fadhil benar-benar terhapus dari pikirannya.

***

Bidadari Bermata BeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang