Menghapus Air mata

51.4K 3.1K 26
                                    

"Anna pulang dulu, urusan kita sudah selesai."

Anna permisi dari sana melewati Fadhil. Pria itu bahkan sempat menahannya untuk menjelaskan sesuatu. Namun, Anna merasa tidak ada lagi yang perlu Fadhil jelaskan.

Memangnya apa lagi yang Fadhil inginkan? Toh, semuanya juga sudah selesai, kan?

Gadis itu berlari kecil menghindari keramaian. Ia tak mau seorang pun melihat air matanya kembali jatuh untuk hal yang sia-sia. Jujur, Anna sudah lelah.

Anna menghentikan langkahnya. Gadis itu mencoba untuk menarik napas, lelah dan sakit larut bersamaan dengan napasnya yang terengah. Anna bukan tipe atletis dan berlari seperti sekarang ini bukan hal baru baginya.

Anna menghampiri bangku kosong di sebuah taman yang sepi. Hanya ada beberapa anak kecil yang berlarian di sana. Ia mulai terisak, menangisi sesuatu yang sejak tadi berusaha ditahan. Berusaha terlihat tegar itu ternyata melelahkan.

Pecinta yang tulus tidak semudah itu melupakan perasaan, meski sekuat dan sebaik-baik saja dia mengatakan ikhlas. Mengertilah, dia hanya ingin tampak biasa saja tanpa harus merasa sakit. Namun, tetap saja. Tak ada yang menyenangkan dari yang namanya perpisahan.

"Hey?"

Sebuah suara memanggil. Itu bukan suara Fadhil.

"Eh, Anna? Sedang apa di sini?"

"Siapa?" tanya Anna yang mulai menghentikan tangisnya.

"Saya Hikam. Masih ingat?"

Suara langkah kaki semakin mendekat ke arahnya. Hikam baru saja pulang dari rumah sahabatnya, dan dia tidak langsung pulang karena ingin berjalan-jalan di sana. Siapa sangka hal itu membuat keduanya kembali dipertemukan.

Anna ingat dengan nama itu. Hikam yang nyaris membuatnya baper di hadapan Ayash waktu itu. Anna buru-buru menghapus air matanya. Gadis itu tak ingin menatap si lawan bicara. Dia malu.

"Kamu kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Hikam tersenyum mendengar jawaban Anna. Dia tahu kalau gadis itu tidak sedang baik-baik saja, dari suaranya saja sudah terdengar serak.

"Katanya, wanita yang ngomong gak apa-apa itu berarti ada apa-apanya, hmm."

Hikam menyandarkan punggungnya pada tiang lampu di sebelah bangku. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada sembari tersenyum.

"Menangis saja. Jangan ditahan," kata Hikam. "Seseorang yang hebat, bukan berarti tak pernah menangis, tapi ... menangislah di tempat terbaik, jika belum ada bahu yang mampu menerima, sajadah masih tersedia. Kemudian usap sendiri tanpa harus menunggu seseorang yang akan menghapusnya. Karena bahagia, hanya datang dari dalam relung hati yang mengizinkan ia ada."

Anna masih berat untuk berkata-kata. Hikam paham dengan aksi diam Anna sekarang.

Harusnya Anna tidak menangis di sana. Dia malu sekali bersedih untuk hal yang sia-sia, tapi namanya juga perasaan, siapa yang mampu menahan?

"Masalah hati, ya?" tanya Hikam.

"Bukan apa-apa."

Hikam terkekeh. "Turut berduka cita bagi kamu yang hati kecil dan tindakannya tidak sinkron karena terlalu berpegang pada harapan, dan menutup mata pada kenyataan."

Kalimat tersebut serupa ejekan. Anna tersindir. Namun, dia tidak berminat untuk meladeni Hikam. Biarkan saja.

Laki-laki memang begitu, Ayash juga suka mengejeknya hanya karena terlalu cengeng.

"Berisik, Mas."

"Jadi, benar ya. Kamu bersedih karena masalah hati."

Anna berdesis, ia menghapus air matanya. "Ya, aku mah apa atuh? Tidak penting karena hanya dicari saat genting."

Hikam senyum-senyum sendiri. Gadis di depannya ini menarik.

"Kamu itu juga berharga, jangan mau hanya jadi tempatnya melepas lara yang ditinggal pergi saat dia sudah bahagia. Jangan terlalu naif, kamu juga berhak bahagia dengan orang yang benar-benar membutuhkan dan menginginkan kehadiranmu, bukan dengan dia yang hanya mencari saat butuh bantuanmu.

Tidak mudah memang melepas perasaan, tapi jika memang berusaha kamu pasti bisa, tak usah lagi cari alasan bertahan dalam perasaan menyakitkan, ya, Humaira."

"Humaira?" Anna terkejut dengan sebutan Hikam barusan.

Hikam menatap Anna serius, posisinya tidak berubah.

"Perempuan tak pandai menahan luka. Hanya saja mereka pandai bermuka dua. Tersenyum dengan ceria. Namun, di hatinya ada luka yang menganga."

Anna mendengarkan ucapan lelaki itu dengan baik. Sayangnya, dia masih enggan untuk menatap Hikam.

"Mas bicara begitu seperti sudah memahami perempuan saja." Kalimat Anna terdengar mencibir

Hikam menaikan bahunya acuh. "Tak sulit memahami perempuan. Masih banyak hal yang mampu membuatnya kecewa; perhatian yang tak kenal waktu, senyuman yang tak tahu tempat, serta kepedulian yang berlebihan."

Anna menutup matanya, kalimat itu tidak salah. Anna yang salah selama ini, dia menyalahkan Fadhil untuk semuanya, padahal dirinyalah yang bersalah karena tidak mau menerima kenyataan.

"Anna, perempuan memang lemah di fisik, tapi seharusnya kuat di hati. Kamu tak boleh berlutut di hadapan perasaan. Kamu jangan sampai tertunduk pada sebuah kenyataan. Air mata wanita itu mahal, lihat! Eyelinermu luntur."

"Apa?" Anna spontan meraba matanya yang masih basah, namun ia teringat sesuatu. Ia tidak dandan sebelum mengajar tadi. Ia mulai ngeh kalau Hikam tengan mengerjainya.

"Nah begitu dong, jangan murung lagi." Hikam terkekeh melihat reaksi gadis itu.

"Tidak lucu!" rajuk Anna sebal.

"Aku lebih senang melihatmu kesal begitu daripada menangis seperti tadi. Jadi, sekarang tersenyumlah."

"Aku terlihat jelek saat menangis?"

"Tidak." Hikam sok berpikir. "Hanya tidak baik menangis di tempat ini. Orang-orang melihat kita seakan aku sudah berlaku jahat padamu."

Anna terkekeh juga akhirnya. Gadis itu menghapus air matanya. "Terima kasih," ucap Anna pelan.

"Terima kasih? Untuk..?"

"Nasihatnya. Kau seperti kakakku." Anna tersenyum kecil. Hikam juga tersenyum.

"Ia yang mengajarkan itu padaku juga. Kau tahu? Kakakmu hebat, aku kagum padanya. Pertemuan kemarin itu adalah hal yang istimewa, Allah mempertemukan kita lewat cara yang tak disangka-sangka."

"Terima kasih. Akan kusampaikan itu padanya."

Hikam hanya tersenyum kecil. Anna banyak sekali diamnya ketimbang bicara. Seakan-akan ... Anna mengajaknya bicara tanpa suara.

Anna akui, Hikam pandai menghibur seseorang. Nasihatnya sangat menyejukkan, tapi dia tak boleh berharap terlalu berlebihan. Anna tak mau terluka lagi. Cukup Fadhil saja yang menyakiti hatinya.

Cukuplah segala yang terjadi ini diambil Hikmahnya.

Anna percaya suatu saat Allah akan mempertemukan dengan seseorang yang baik di mata-Nya.

Anna percaya segala penantiannya ini akan ada ujungnya.

Anna percaya.

Semoga.

Semoga saja.

Bidadari Bermata BeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang