***
"Hati-hati, Nak. Jaga diri di sana dan cepat pulang."
Ummu Hikam mendekat ke arah anaknya, memasukan beberapa obat ke dalam tas ranselnya. Hikam jarang mabuk perjalanan namun mengingat Hikam sering kelelahan karena kesibukannya akhirnya ibunya menyediakan stok obat ke dalam tas.
"Salma kemana ya? Kamu sudah mau pamit dia belum datang juga."
Hikam tersenyum, "tidak apa-apa, nanti umi bilang saja Hikam sudah berangkat ya."
"Baiklah. Umi kadang berpikir bagaimana kalau kamu menikah dengan Salma."
Hikam menoleh mendengar sang ibu menyebutkan nama itu. Bukankah ibunya juga tahu kalau Hikam sudah resmi menjadi calon suami Anna, sekarang kenapa ibunya berkata demikian.
"Umi jangan bercanda, Hikam punya pilihan sendiri."
"Ha ha ... umi sudah menduga, kau memang takkan mau, umi tak memaksa. Anna memang cantik sekali."
"Bukankah menikahi wanita itu berlandaskan empat perkara?"
"Kau benar ... kecantikan, keturunan, kekayaanya, dan agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung." Abah menyela perdebatan antara ibu dan anak itu.
"Kamu serius ingin menikahinya?" tanya Abah Hikam dengan tenang. Abah Hikam memang sudah tua, terlihat dari kulitnya yang sudah keriput dimakan usia juga jenggot putihnya yang lebat. Namun tatapannya selalu teduh seperti saat ini.
"Doakan kami, Abah." Hikam tersenyum.
"Assalamualaikum."
Salma masuk ke dalam rumah, gadis itu tidak menatap Hikam sedetik pun. Dia tersenyum pada ummu Hikam dan meminta maaf karena keluar tanpa memberi tahu dulu.
Salma tidak ingin pusing dengan Hikam. Toh itu kan urusannya mau melamar siapa, tapi dia pun tak bisa berbohong kalau Salma masih mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Bermata Bening
Espiritual"Meninggalkannya dengan satu alasan memenuhi perintah Allah. Hal inilah yang memang harus aku jalani, dan aku pilih dari dulu sebagai seorang muslimah. Lebih baik mencintai dalam diam dan memperbaiki diri demi seorang imam yang dipilihkan Allah untu...