Author POV.
Shila baru saja menghempaskan tubuhnya di kasur kesayangannya. Ia baru balik mengajar anak-anak saat jam menunjukan pukul delapan malam. Sepasang mata milik perempuan itu kini menatap langit-langit kamarnya dengan sendu.
"Shil? Kamu di dalem?" suara dari luar pintu kamarnya membuat Shila tersadar dari lamunan singkatnya.
Shila langsung beranjak dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya yang tidak di kunci, Ayahnya kini berdiri di hadapannya. "Kenapa, Yah?" tanya Shila.
"Kamu darimana? Kenapa jam segini baru pulang?"
"Abis belajar bareng sama temen. Ayah kapan pulangnya?"
Shila mengikuti ayahnya yang berjalan menuju ruang tv. Mungkin ayahnya ingin membicarakan hal serius, makanya langsung menuju ruang tv. Cemilan yang ada di hadapan Shila langsung diambil alih untuk masuk kedalam mulut perempuan itu.
Ayahnya belum membuka suara sama sekali. Masih fokus menatap layar tv. Ini situasi yang paling di benci oleh Shila. Dengan sedikit kekesalan, Shila menaruh toples cemilan itu pada meja di hadapannya dengan hentakan. "Kalo Ayah masih mau nonton tv, Shila ke atas aja."
"Ada yang harus Ayah bicarakan sama kamu."
"Apa?"
"Ayah harus pergi ke Jakarta, dan cukup lama disana."
"Ta...tapi kan Ayah baru balik, udah mau pergi lagi? Yah..." Shila menatap Ayahnya dengan tatapan please Ayah jangan pergi.
"Kerjaan Ayah banyak Shila, apa kamu mau ikut Ayah ke sana?"
"Tapi Ayah bilang, di Bandung bakalan jadi tempat terakhir Ayah pindah. Kenapa sekarang malah ke Jakarta?"
"Shila, urusan Ayah banyak. Kamu nggak perlu protes."
"Yaudah, Shila tetep mau disini. Lagi juga ada Bi Encum kok."
"Bi Encum mau pulang kampung selama dua minggu."
"Ck, gapapa. Aku tetep disini." Shila langsung lari ke kamarnya. Ia tidak memperdulikan Ayahnya yang terus memanggil namanya.
Shila menangis pilu di dalam kamarnya. Saat ini ia hanya butuh Ayahnya sebagai pengganti Mamanya yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Shila kangen dengan Sinta, Ibunya. Shila kangen perhatian dari Ibunya. Shila kangen omelan Ibunya saat dia tidak mau makan masakan Padang, dengan alasan pedas.
Kini suara isak tangis dikamarnya semakin menjadi. Tangisannya pecah namun tak bersuara. Shila merasakan perih yang luar biasa di lubuk hatinya. Kapan Ayahnya ada waktu untuk anak semata wayangnya itu? Bahkan, bertanya sudah makan saja pun bisa di hitung dengan hitungan jari. Sungguh keadaan yang sangat amat Shila benci.
Shila tau pekerjaan Ayahnya memang memakan waktu. Harus mengurus proyek ini dan itu. Pergi pagi pulang malam. Terkadang, weekend saja Ayahnya tetap bekerja. Dan itu membuat Shila semakin kesal. Shila sudah menahan unek-uneknya selama hampir 3tahun. Iya, selama 3 tahun juga Ibunya meninggalkan dia untuk selama-lamanya.
Dulu saat Sinta masih hidup, Shila selalu punya tempat untuk mencurahkan kekesalannya terhadap Ayahnya, jika ayahnya ingkar janji untuk sekedar liburan dengannya, Sinta selalu sabar menghadapi Shila yang merengek minta liburan bersama Ayahnya. Tapi sekarang? Dengan siapa ia harus merengek? Dengan siapa ia harus berbagi kekesalan karna Ayahnya? Anggi? Bukan. Anggi adalah tipe orang yang mudah nangis, Shila hanya butuh penyemangat bukan menambah isak tangisnya. Yang ada, jika ia bercerita dengan Anggi, Shila akan semakin merasa sedih.
Ma, Shila kangen Mama. Mama gak ada niat buat kasih tau Ayah, kalo Shila butuh Ayah? Please, Ma. Shila gak tau harus ke siapa lagi.
Shila terus menangis hingga larut malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Kiss [Completed]
Teen FictionKlasik. Berawal dari sebuah taruhan, dan berakhir dengan jatuh cinta. Serta ciuman terakhir yang membuat Shila kehilangan Rama. ©Copyright 2016.