PART 35

290 22 0
                                    

♥♛♥

Haaahh ... benar-benar. Jadi aku harus menjauhi Rey, begitu? Sungguh, aku tidak mau melakukannya. Tapi, melihat Revi tadi ....

Ah, sudahlah! Memikirkannya hanya membuatku stress.

Bel istirahat kedua berbunyi. Aku pun menghela napas lega. Kuyakin semua anak melakukannya. Setelah itu aku meregangkan ototku yang terasa kaku dengan gerakan mengeliat. Tiba-tiba kudengar suara kekeh tawa dari samping kananku. Aku pun menoleh.

"Kenapa?" tanyaku canggung. Hei ... kenapa berbicara dengan Rey rasanya secanggung ini? Apa karna sudah berhari-hari kami tidak bersama?

"Lo itu nggak pernah bisa serius kalo belajar! Dari tadi lo ngelamun terus. Giliran bel bunyi, lo malah keliatan lega banget," ledek Rey.

Aku hanya cengengesan tak jelas sambil menggaruk belakang telinga.

"Ke kantin?" tanya Rey yang aku artikan itu adalah sebuah ajakan. Sudah tiga hari terakhir ini aku tidak pergi ke kantin dengannya. Tentu saja karna Revi selalu mendominasi Rey.

"Eh ... itu ..." ujarku ragu. Rey terlihat mengeryit bingung.

"Rey!" panggil seseorang dari pintu sana. Aku dan Rey menoleh bersamaan. Revi sudah berdiri di sana sambil memasang senyuman khasnya.

"Lo sama Revi aja!" ujarku seraya menunduk. Bahkan aku tidak mengerti dengan apa yang kukatakan ini. Bukankah aku tidak suka melihat Rey bersama Revi? Sebenarnya apa yang kuinginkan?

"Lo kenapa si? Aneh!" ujar Rey dengan alis terangkat sebelah. Mungkin dia heran dengan tingkahku yang canggung ini.

"Udah, lo sama Revi aja sana! Ntar gue sama Dhea aja!" tegasku tanpa memandang wajah Rey.

Rey terdiam sesaat sebelum akhirnya ia berdiri dan melangkah pergi menuju Revi.

***

Plaakk!!!

Suara tamparan itu terdengar nyaring. Cewek keturunan cina di hadapan Rey tengah memandangnya sengit. Sementara Rey hanya memegangi pipinya dan membelalakkan matanya.

"Dhea ... lo apa-apaan, sih?" protesnya. Ia mengernyit bingung dengan tingkah temannya yang tiba-tiba saja datang lalu menamparnya saat ia keluar dari ruang ganti, baru saja selesai mengganti seragam futsalnya dengan seragam sehabis latihan.

"Gue benci, ya, sama lo!" ujar Dhea sengit.

"Kenapa? Alasannya?"

"Lo itu bener-bener nggak peka, ya!" Dhea lagi-lagi berujar dengan nada tinggi.

"Nggak peka gimana, sih?!" Rey semakin menunjukan raut bingungnya.

"Udah, lah! Pokoknya mulai sekarang gue benci sama lo! Lo itu keterlaluan, tau nggak? Mulai sekarang, gue sama Chelsea nggak akan temenan sama lo lagi. Ngerti?!" Dhea meninggikan suaranya satu oktaf. Nadanya seolah mengintimidasi diikuti tatapannya yang tajam.

Setelah itu Dhea meninggalkan Rey yang kebingungan setengah mati. Rey sungguh tak mengerti kenapa Dhea menamparnya dan mengatakan hal barusan. Apa salahnya?

Sementara Dhea berjalan cepat dengan air mata yang nyaris menetes. Bukan apa-apa, ia hanya tidak tahan melihat Chelsea tersakiti. Melihat Rey dekat dengan Revi dan memisahkan diri dari Chelsea, tentu saja membuat Chelsea hancur. Dan kehancuran Chelsea telah menular pada Dhea. Karena itulah ia memberanikan diri untuk memarahi Rey seperti tadi. Emosinya terlalu meluap untuk ditahan.

***

Aku terus-terusan kepikiran dengan tingkah anehku tadi. Rey saja terlihat begitu heran dengan tingkahku yang menyuruhnya untuk pergi bersama Revi seolah aku tidak ingin berada di dekat Rey. Hei ... padahal aku sungguh tidak akan menuruti kemauan Revi untuk menjauhi Rey.

Aargghh .... Ini membingungkan!

Saat ini aku tengah duduk di sofa. Menunggu Rey pulang dari latihan futsalnya. Aku ingin meminta maaf padanya soal yang tadi.

Pintu pun terbuka. Rey muncul dari sana. Aku langsung berdiri menyambut kedatangan Rey.

Entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Rey sama sekali tidak menatapku seperti yang biasa ia lakukan. Ia berjalan melewatiku begitu saja lalu menaiki tangga menuju kamarnya.

"Rey!" panggilku.

Punggung itu berhenti, lalu berbalik. Wajah Rey yang datar terpampang. Kenapa dengan ekspresinya itu?

"Gue mau ngomong sesuatu," kataku canggung.

Rey masih bergeming. Selanjutnya ia mendengus pelan. "Nggak ada yang perlu diomongin. Gue udah ngerti semuanya."

Maksudnya? Apanya yang mengerti semuanya? Aku pun mengernyit bingung. Begitu sadar, Rey sudah kembali memunggungiku dan berjalan menaiki tangga lagi.

"Eh? Rey! Tunggu!" ujarku. Namun Rey sama sekali tak mengacuhkanku dan terus berjalan sampai ia menghilang dibalik pintu kamarnya.

Ada apa dengannya?

***

Ini sudah seminggu berlalu. Dan satu hal yang mambuatku tidak mengerti. Aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja Rey jadi bersikap dingin padaku. Sikap Rey selama seminggu ini mirip seperti sikap Rey saat pertama kali aku mengenalnya. Cuek, dingin, tak tersentuh.

Apa-apaan ini? Padahal aku belum benar-benar melancarkan aksiku untuk menjauhi Rey—sesuai permintaan Revi. Tapi justru kenapa malah Rey sendiri yang menghindariku? Dia sama sekali bersikap seolah aku ini tidak ada. Apa Rey memang berniat meninggalkanku dan memilih bersama Revi? Tapi kenapa? Apa salahku?

Sejak seminggu terakhir ini Rey selalu pergi kemana pun bersama Revi. Dia bahkan sama sekali tidak pernah melirikku. Di sekolah, kami nyaris tidak pernah mengobrol. Walau berangkat dan pulang bersama, dia tidak berbicara sedikit pun padaku. Dan setelah pulang, dia jarang sekali berada di rumah, entah pergi ke mana. Kau tahu? Hal ini sangat menyakitkan.

Aku terduduk dari perbaringanku. Berharap air mata yang mengalir dari pelupuk mataku segera berhenti. Haa ... kenapa aku menangis?

Aku mengambil ponselku yang berada di nakas lantas menatap gantungan yang menempel di sana. Gantungan berbentuk huruf 'R' yang berwarna hitam mengkilap. Gantungan yang diberikan Rey untukku. Entah kenapa melihat benda ini membuatku terasa miris. Akhirnya aku lepaskan gantungan itu dan kusimpan di laci.

***

"Kak Tian, hari ini lo yang anterin Chelsea. Gue mau jemput Revi soalnya," ujar Rey setelah selesai sarapan.

Kak Tian tampak terkejut. Namun, melihat wajah dingin Rey, ia akhirnya mengangguk. Selanjutnya Rey pergi tanpa sepatah kata pun. Dan aku hanya bisa tersenyum miris sekarang.

"Ayo, Chel, berangkat! Papa pasti udah nungguin di kantor," ujar Kak Tian seraya berdiri. Aku pun mengangguk.

***

Bel istirahat berbunyi. Aku menoleh pada Rey yang tengah memasang wajah datarnya. Ia sama sekali tidak menoleh ke arahku seperti biasanya. Padahal biasanya dia selalu menengokku begitu bel istirahat berbunyi. Selanjutnya dia akan menjitak kepalaku dan mengataiku 'cewek bego'. Setelah itu ia akan mengacak rambutku dan menarikku ke kantin seraya merangkul bahuku. Ha ... aku jadi merindukan masa-masa itu. Setelah semua yang terjadi. Apa aku akan kembali mengalaminya?

"Rey, boleh pinjem catatan punya lo? Soalnya gue nggak sempet nulis tadi," kataku.

Rey menoleh dan menyerahkan catatannya. Dengan nada dingin, ia pun berujar. "Nih ..." Selanjutnya dia kembali memalingkan wajahnya dariku. Dan wajah itu benar-benar dingin. Padahal biasanya saat aku meminjam catatannya, dia pasti akan meledekku dan mengataiku kalau aku ini payah. Padahal dulu aku sangat kesal saat dia melakukan itu, tapi kenapa sekarang aku malah merindukannya?

"Rey!" Revi datang menghampiri Rey, seperti biasanya. Rey tersenyum saat melihat Revi, seperti biasanya. Keduanya lalu pergi ke luar kelas seraya bergandengan, seperti biasanya. Dan aku hanya menatap mereka dengan hati yang sakit ... seperti biasanya.

♥♛♥

DUA SEJOLI SALING JATUH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang