• 18 : How can i let you go? •

64 6 0
                                    

Selama perjalanan, aku hanya terdiam dan memikirkan kejadian tadi.
Louis benar. Bagaimanapun,ini hubunganku dan Zayn. Perrie tak ada hak untuk memisahkan kami.

"Clay? Are you okay?" Liam menyadarkanku.

"Ya-aku.. Baik-baik saja." Jawabku datar.

"Astaga. Pipimu kenapa?!" Crap, aku tertangkap.

"Tak apa,Li. Tadi aku terjatuh."

"Kau yakin?"

Aku mengangguk.

"Tapi itu-"

"Liam, aku baik-baik saja." Potongku cepat.

Liam hanya mengangguk-angguk. "Baiklah."

***

Sesampai di rumah, aku langsung mengunci diri di kamar. Alasanku pada Liam adalah, aku lelah dan butuh istirahat. Untunglah dia tak banyak bicara,dan curiga.

Aku duduk menekuk lutut di ranjangku. Mataku memandang keluar jendela. Air mataku mengalir deras sedari tadi. Sesekali aku meringis karena pipiku masih terasa perih.

Zayn. Apa hatiku sanggup untuk melepasnya? Apa batinku kuat untuk melihatnya bersama yang lain?
Mengapa masalah ini begitu berat?! Sangat tidak adil!

Hatiku sudah terlalu erat menggenggamnya. Dia yang selalu membuatku merasa aman,damai,dan spesial. Karenanya, hariku menjadi lebih berwarna dan berharga setiap detiknya. Aku tak pernah mencintai pria sampai se dalam ini.
Sudah pasti aku tak sanggup melepaskan pria itu.

Ponselku berdering. Kulirik layarnya, terpampang nama seseorang yang menghantui fikiranku dari tadi. Aku mengangkat telponnya.

"Halo..Zayn." Aku berusaha agar suaraku tak terlalu serak.

"Hey sayang, sudah sampai rumah?" Suaranya membuat tubuhku semakin lemas.

"Sudah kok. Kamu juga sudah?" Aku mengusap airmataku.

"Iya ini aku sudah sampai. Aku cuma memastikan kamu baik-baik saja sampai di rumah." See? Bagaimana bisa aku melepasnya?

"Aku.. Baik-baik saja.." Jawabku jelas berbohong.

"Suaramu agak serak. Kamu sakit?"

"Uhm..Tidak,Zayn. Aku..kelelahan saja. Butuh Istirahat."

"Yasudah, istirahat saja yang cukup. Nanti kutelpon lagi ya. I love you."

Aku mematikan sambungannya. "I love you more, Zayn." Gumamku jelas-jelas sudah terlambat.

Airmataku kembali mengalir.
Hanya Wanita bodoh yang melepas pria seperti Zayn. Mendengar suaranya saja semakin membuatku lemas.

Apa yang harus aku perbuat?

***

"Thanks for today,class. See you next week." Akhirnya Pria tua itu meninggalkan kelasku.

Aku memijat keningku. Kepalaku rasanya hampir pecah menerima pelajaran darinya. Mataku mulai muak melihat angka-angka yang ia tulis di papan.

"Clay? Kau baik-baik saja?" Frisca mengelus pundakku.

"Ya, i'm okay." Aku tersenyum hambar.

"Tak biasanya kau lemas begini."

"Aku hanya pusing menerima pelajaran Mr. John tadi."

"Kau mau kubawakan makanan?"

Aku tersenyum lalu menggeleng.

"Baiklah. Aku ke kantin ya. Harry sudah menungguku." Gadis itu tersenyum lalu pergi keluar kelas.

Syukurlah, dia tidak menyadari lebam di pipiku.

Aku meneguk air mineral yang aku bawa. Memang hari ini badanku terasa lemas. Apa karena aku menangis semalaman? Atau terlalu banyak fikiran?

"Clay. Jangan terlalu dipikirkan." Entah sejak kapan Louis berada di kelasku. Oh iya aku lupa, disini kan juga kelas kekasihnya.

"Thanks Lou."

"Kau terlihat agak pucat."

"Aku menangis semalaman. Bodoh sekali." Aku merutuki diriku sendiri.

"Jangan menyiksa dirimu,Clay. Tak baik." Eleanor angkat bicara.

Aku hanya mengulum senyum.

"Kau yakin tak mau keluar kelas?"

"Aku masih trauma bertemu Perrie."

"Yasudah, kami keluar dulu ya." Pasangan itu pergi meninggalkan kelasku. Di ambang pintu, Louis terlihat sedikit berbincang dengan seseorang tapi aku tak bisa melihatnya.

Masa bodohlah. Kepalaku sekarang terasa berat.

Terdengar seseorang menghampiriku. Aku mengangkat kepalaku, oh.

Zayn.

Tahan Clay. Kau harus bisa mengendalikan airmatamu.

Pria ini duduk disampingku lalu meraih tanganku.

"Kata Louis, kamu sakit." Zayn mengelus tanganku lembut.

Aku masih enggan menatapnya. Pertama takut airmataku turun tiba-tiba, dan yang kedua, takut dia melihat lebam sialan di pipiku ini.

Zayn menarik daguku agar menatapnya.
"GOD! Apa yang terjadi dengan pipimu?!"
Kan sudah kubilang. Baiklah, saatnya berbohong lagi.

"Mm.. Aku.. Aku terjatuh kemarin."

Zayn mengecup pipiku singkat,membuat rasa perih tadi sedikit menghilang. "Lain kali hati-hati." Ujarnya,aku hanya mengangguk.

"Babe? Kamu pucat."

Aku menggigit bibir bawahku. "Kepalaku pusing. Itu saja kok."

Detik berikutnya, aku sudah berada di dekapan Zayn. Dia mengelus rambutku lembut.

"Kenapa gak bilang kalo kamu sakit. Kan aku bisa-"

"Zayn, aku baik-baik saja." Potongku.

Perlahan, aku membalas pelukannya. Tanganku melingkar sempurna dilehernya kubiarkan wajahku terbenam di pundaknya.

Aku merasa lebih baik. Seketika, lemas di tubuhku menghilang.
Pria ini memang selalu membuatku nyaman. Aku memang tak bisa jauh darinya.
Sialnya,Airmataku tak bisa dikendalikan.

"Hey, ada apa?" Zayn melepas dekapannya lalu mengusap pipiku.

"Aku antar pulang saja ya? Lebih baik kamu istirahat di rumah."

Aku menggeleng. "Tak perlu,Zayn. Lagipula jam pulang tinggal 2 jam lagi."

"Kamu yakin sanggup sampai dua jam lagi?" Wajah Zayn terlihat cemas.

"Iya sayang. Aku sudah merasa lebih baik kok,dipeluk kamu." Jawabku membuat Zayn terkekeh.

Dia mengecup keningku lembut, kemudian pipiku.

"Kalau ada apa-apa, bilang sama aku ya."

Aku hanya mengangguk.

Bel masuk tiba-tiba berbunyi.

"Sialan. Aku masih ingin lama-lama denganmu." Protesnya.

Aku terkekeh. "Masuklah,Zayn."

"Hmm.. Okay. Kamu yang semangat ya belajarnya! Jangan lemes lagi!" Zayn mencolek hidungku. Aku tertawa geli.

"Bye!" Dia mencium bibirku lalu pergi.

Aku tersenyum senang. Zayn memang penyemangatku.

You and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang